Larangan TNI Berbisnis, YLBHI: Militer Tidak Dibangun untuk Kegiatan Bisnis dan Politik

7 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Keinginan beberapa pihak menghapus larangan Tentara Nasional Indonesia atau TNI terlibat atau intervensi bisnis yang diembuskan sejak tahun lalu ternyata belum surut. Kendati kala itu ramai-ramai pihak menyatakan penolakan, wacana melegalkan tentara bisa berbisnis kembali bergulir belakangan ini.

Rencana tersebut mencuat lagi seiring dibahasnya rancangan undang-undang (RUU) perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau RUU TNI di Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Usulan itu disinggung dalam rapat dengar pendapat (RDP) seputar RUU TNI antara Komisi I dengan sejumlah pakar pada 3 Maret 2025 di gedung parlemen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kesempatan tersebut, Mayor Jenderal TNI AD (Purn.) Rodon Pedrason, yang menjadi penasihat di Defense Diplomacy Strategic Forum, membela hak prajurit untuk berbisnis. Rodon mengatakan uang pensiunan yang diterima bintara dan tamtama hanya 70 persen dari gaji pokok, dan mereka tidak punya pekerjaan sampingan selagi berkarier di TNI.

“Prajurit, terutama prajurit bintara atau tamtama jangan dilarang berbisnis,” kata dia dalam rapat tersebut.

Larangan TNI berbisnis diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal itu menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.

Wacana penghapusan larangan dalam pasal tersebut muncul ke permukaan pada Juli tahun lalu, melalui surat dari Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Hadi Tjahjanto. Usulan ini kemudian disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro dalam RDP RUU TNI pada Kamis, 11 Juli 2024.

“Kami sarankan ini (Pasal 39 UU TNI huruf c) dibuang. Mestinya yang dilarang adalah institusi TNI untuk berbisnis. Tapi kalau prajurit, orang mau buka warung aja endak (tidak boleh),” ujar Kresno Buntoro.

Kala itu DPR dikabarkan telah menyetujui revisi UU TNI menjadi inisiatif DPR, meskipun pembahasan antara pemerintah dan dewan belum dimulai. Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Maruli Simanjuntak, juga mendukung usulan agar prajurit TNI diizinkan untuk berbisnis. Kata dia, ada sejumlah anggota TNI yang membutuhkan pendapatan sampingan.

“Bahkan ada prajurit TNI yang juga mencari pemasukan dengan menjadi sopir ojek online atau ojol. Dua tiga jam ngojek kan lumayan,” ujarnya di Mabes TNI, Senin, 22 Juli 2024

Di sisi lain, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, M. Isnur, menilai revisi UU TNI yang membuka keran militer berbisnis merupakan langkah keliru. Alih-alih ikut berbisnis, TNI mestinya berfokus pada pertahanan dan keamanan negara.

“Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya,” kata Isnur dalam pernyataan tertulisnya, Selasa, 16 Juli 2024.

Menurut Isnur penghapusan larangan bisnis dalam UU TNI tak hanya akan berdampak pelemahan profesionalisme militer, tetapi juga berpengaruh pada penurunan dalam pertahanan karena bertambahnya tugas prajurit. Ia menyatakan pembiaran prajurit TNI masuk ke dalam ranah bisnis dan politik sama artinya dengan kembali ke Orde Baru. Isnur beserta koalisi mengecam kemunduran demokrasi yang akan muncul akibat revisi UU TNI tersebut.

Wacana penghapusan pasal pelarangan TNI berbisnis ini juga menuai kritikan dari Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Pihaknya merupakan salah satu pihak yang menolak dan mengkritisi pencabutan larangan bagi prajurit untuk berbisnis dalam perubahan aturan itu.

“Tentu saja itu tidak boleh dilakukan,” ujar Bivitri Susanti usai mengisi acara diskusi bertajuk Kudatuli, Kami Tidak Lupa di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau DPP PDIP pada Sabtu, 20 Juli 2024.

Bivitri menilai bahwa pemberian kewenangan berbisnis kepada TNI merupakan langkah yang keliru. Menurut dia, TNI harus tetap berada di pertahanan dan keamanan. Lebih dari itu, TNI memiliki pengaruh besar di kehidupan sosial masyarakat. Senada dengan Isnur, Bivitri menganggap pencabutan larangan bagi TNI untuk berbisnis sama dengan kembali mundur ke zaman sebelum reformasi.

“Ini akan membuka jalan yang terlalu luas untuk militer masuk ke dalam dunia ekonomi dan politik,” ujarnya.

Pada Agustus lalu, meski ragam kritik menerpa, DPR justru memastikan pembahasan RUU TNI dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, tetap berlanjut ke tahap berikutnya. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ahmad Baidowi, mengatakan setelah disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR ke-18 Masa Persidangan V Tahun 2023-2024 pada Mei 2024, DPR tinggal menunggu tindaklanjut dari pemerintah.

“Untuk RUU TNI dan Polri, DPR masih menunggu pemerintah mengirimkan surat presiden dan daftar inventaris masalah (DIM),” kata Baidowi melalui pesan singkat, Kamis, 8 Agustus 2024.

Setelah tertunda hingga 2025, DPR akhirnya menjadwalkan agenda pembahasan perubahan undang-undang atau revisi UU TNI pada Senin, 3 Maret 2025. Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno mengkonfirmasi ini kepada Tempo melalui pesan pendek pada Jumat, 28 Februari 2025.

“Sudah kami jadwalkan untuk dimulai pembahasan, Senin,” kata Dave.

Menanggapi pernyataan Rodon dalam RDP pada Senin, 3 Maret 2025, Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad menyebut penghapusan larangan tersebut menjadi dalih agar segelintir elite TNI bisa kembali berbisnis seperti saat era Orde Baru. Menurut dia, proses revisi UU TNI kali ini merupakan aji mumpung bagi para elite TNI. Terlebih, katanya, Presiden Prabowo Subianto juga berasal dari latar belakang militer.

“Ini hanya dalih daripada keinginan segelintir orang di elite TNI untuk kembali seperti masa Orde Baru di mana TNI bisa berbisnis,” kata Hussein saat konferensi pers menyikapi RUU TNI di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Kamis, 6 Maret 2025.

Hussein juga mengkritik alasan yang digunakan TNI untuk mendukung penghapusan larangan berbisnis, yaitu rasa kasihan pada prajurit yang kekurangan pendapatan. Ia menilai hal tersebut sebagai cara pandang yang keliru. Seharusnya Panglima TNI menjamin kesejahteraan para prajuritnya sehingga tidak perlu berbisnis dan hanya fokus menjadi alat pertahanan negara.

“Kalau prajurit di lapangan sampe harus Gojek, sampe harus jual sayur, berarti ada masalah soal kesejahteraan. Siapa yang bertanggung jawab soal kesejahteraan prajurit? Ya Panglima TNI,” kata dia.

Bahkan, ia waswas akan banyak prajurit TNI yang berbisnis di bidang tambang jika larangan berbisnis bagi tentara dihapus. Ia meminta elite TNI tidak menggunakan narasi rasa kasihan terhadap prajurit sebagai dalih ingin berbisnis tambang. “Saya kira kalau kemudian ini dihapuskan, kita akan lihat banyak perwira-perwira ini main tambang, main smelter, dan lain sebagainya,” kata dia.

Savero Aristia, Hendrik Yaputra, Andi Adam Faturahman, Sukma Kanthi Nurani, Nabiila Azzahra, dan Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online