TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada peran Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Utara (Dirreskrimsus Polda Kaltara) Kombes Hendy Kurniawan dalam lolosnya Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku dari operasi tangkap tangan atau OTT di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, pada Januari 2020 lalu.
Tim Hukum KPK Iskandar Marwanto pada sidang praperadilan Hasto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, pada Kamis, 6 Februari 2025, mengatakan, ketika itu tim penindakan lembaga antirasuah diintimidasi oleh lima orang saat melakukan pengejaran terhadap Harun. Salah satunya oleh Hendy Kurniawan, yang masih berpangkat AKBP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Petugas termohon (KPK) malah digeledah tanpa prosedur, diintimidasi dan mendapatkan kekerasan verbal dan fisik oleh Hendy Kurniawan dan kawan-kawan,” kata Iskandar Marwanto, dikutip dari Antara.
Diduga, kelima orang dari kepolisian itu merupakan suruhan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan. Hingga akhirnya, alat komunikasi petugas KPK diambil paksa. Kemudian petugas KPK bahkan dituduh mengonsumsi narkoba hingga dilakukan pengetesan urine dan dimintai keterangan sampai pagi hari.
“Kemudian diminta keterangan sampai pagi jam 04.55 WIB. Bahkan petugas termohon dicari-cari kesalahan dengan cara dites urine narkoba, namun hasilnya negatif,” ujarnya.
Kabar keterlibatan Hendy Kurniawan menghalangi proses OTT KPK terhadap Hasto dan Harun bukan informasi baru. Pada 2020, Majalah Tempo sudah mengungkapnya dalam laporan "Di Bawah Lindungan Tirtayasa". Tempo bahkan menuliskan bagaimana alur cerita upaya KPK menangkap Harun yang kala itu diduga berusaha menemui Hasto di PTIK. Tempo juga melaporkan adanya upaya pihak kepolisian menggagalkan OTT tersebut.
Harun Masiku adalah calon anggota legislatif dari PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Pada Pemilihan Umum atau Pemilu 2019, perolehan suaranya di urutan kelima. PDIP ingin mengganti Nazarudin Kiemas, caleg peraih suara terbanyak, yang meninggal tiga pekan sebelum pencoblosan, dengan Harun.
Tapi, sesuai aturan, Komisi Pemilihan Umum atau KPU menetapkan Riezky Aprilia, peraih suara terbanyak kedua, sebagai calon anggota DPR. Upaya lewat pintu belakang pun dilakukan. Harun diduga menyuap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan agar meloloskan dirinya menjadi pengganti antar waktu, disingkat PAW, tersebut.
Cerita Gagalnya KPK OTT Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto di PTIK
Sebelum keduanya menuju kompleks PTIK, Nurhasan—petugas keamanan di kantor Hasto— memberi tahu Harun Masiku untuk merendam telepon selulernya di dalam air. Tak bisa menjelaskan alasannya, Nurhasan kemudian menawarkan diri untuk menjemput Harun di dekat sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di sekitar Cikini, Jakarta Pusat.
Membelah kawasan Menteng, Harun membonceng sepeda motor yang dikendarai Nurhasan ke arah Mampang, Jakarta Selatan. Menembus gerimis pada Rabu malam, 8 Januari 2020, itu, keduanya kemudian bergerak ke arah Blok M dan tiba di kompleks PTIK di Jalan Tirtayasa Raya Nomor 6 sekitar pukul 20.00. Di sana, Hasto Kristiyanto dikabarkan tiba lebih dulu.
Gerak-gerik mereka dipantau oleh petugas KPK. Siang beberapa jam sebelumnya, KPK telah menangkap Wahyu Setiawan, karena diduga menerima suap untuk meloloskan Harun ke DPR. Bersama Wahyu, tujuh orang lain juga digulung. Dua di antaranya Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, kader PDIP yang dianggap dekat dengan Hasto.
Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun dan Hasto, yang ditengarai mengetahui penyuapan tersebut. Sementara Nurhasan dilepaskan dari pengawasan karena bukan target kakap. Sembari terus memantau keberadaan target, lima penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK.
Namun, ketika hendak masuk masjid, mereka malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun buyar. Di antara polisi yang menawan petugas KPK, salah seorangnya adalah Hendy Kurniawan, selaku Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri.
“Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari lalu.
Para polisi mengambil foto tim KPK dan memaksa mereka menyerahkan password ponsel masing-masing. Mendengar keributan, seorang petugas KPK yang bersiaga di sekitar pintu depan PTIK merapat ke masjid. Ia mengenali Hendy, yang pernah bertugas di KPK pada 2008-2012. Hendy mundur dari lembaga antirasuh dan kembali ke Polri.
Disapa oleh mantan koleganya di KPK, Hendy menyatakan tak kenal. Ia dan para polisi kemudian menggelandang lima petugas KPK ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Polisi pun memaksa para penyelidik itu menjalani tes urine. Para penyelidik itu ditahan sekitar tujuh jam. Mereka baru dilepas setelah Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak tiba di sana sekitar pukul 03.30, Kamis, 9 Januari 2020.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan proses interogasi merupakan hal yang lumrah. Dia mengklaim pemeriksaan berlangsung tidak lama karena tim KPK dijemput atasannya. Alasan dilakukan pemeriksaan, mereka disebut sebagai orang yang tak dikenal masuk masjid.
“Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah,” kata Argo. “Dari pemeriksaan, mereka hanya akan salat.”
Kala itu Tempo mencoba menghubungi dua nomor ponsel Hendy, tapi tak ada yang aktif. Sementara Hasto Kristiyanto membantah berada di kompleks PTIK pada Rabu malam itu. “Tidak,” ujarnya. Ia mengklaim sedang di suatu tempat karena sakit perut.
Sementara Nurhasan, saat dimintai konfirmasi, mengaku pada Rabu malam itu sibuk mondar-mandir dari Sutan Syahrir 12A ke Kemayoran untuk membantu persiapan rapat kerja nasional PDI Perjuangan. Harun Masiku, sejak saat itu menghilang.
Linda Trianita, Budiarti Utami Putri, M. Rosseno Aji, dan Dewi Nurita berkontribusi dalam penulisan artikel ini.