INFO NASIONAL - Perempuan berkerudung hitam mengingat kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu. Dengan suara tercekat dan mata berkaca-kaca, dia bercerita bagaimana rumahnya diobrak abrik segerombolan orang menjelang tengah malam pada Juli 2023.
Saat sedang terlelap bersama anak gadisnya di kamar tidur, segerombolan orang tak dikenal datang dengan kendaraan sambil berteriak-teriak di depan rumah dinasnya. Jumlahnya sekitar 300 orang. Mereka membawa parang panjang, tojok sawit, dan lainnya. "Situasinya persis seperti film G30S/PKI," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa yang berteriak-teriak mulai mengepung rumah dan kian beringas masuk. Pintu depan, pintu belakang, dan pintu samping jebol sudah. Kaca-kaca jendela pecah berkeping. Mereka lalu mendobrak pintu kamar tidur. "Jangan sakiti kami! Jangan sakiti kami!," pintanya.
Gerombolan itu mencari kepala unit dan manajer kebun. Tidak menemukan orang yang dicari, massa yang murka kemudian meninggalkan rumah seraya terus melampiaskan kemarahan mereka pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Massa menyasar kediaman lainnya. Di rumah ini, seorang lelaki sedang tertidur lelap karena kelelahan. Praakk! Suara keras membuatnya terbangun dan seketika tersadar, batu telah mendarat di atap rumahnya.
Dia keluar rumah dan seorang diri berhadapan dengan massa. "Cari siapa?" tanya pria ini. Pemimpin gerombolan tadi menghampirinya seraya berkata, "kamu ikut saya! Jangan melawan! Kalau melawan, tahu apa yang akan terjadi!"
Mata pria ini ditutup, ditodong senjata tajam, sembari digiring ke mobil. Hujan caci-maki sepanjang perjalanan menuju sebuah rumah penduduk yang tak jauh dari lokasi perkebunan. Lelaki itu disandera dengan jaminan tiga pencuri buah sawit harus dibebaskan dari kantor polisi.
Kelompok perusuh ini mengamuk lantaran tiga anggota mereka ditangkap polisi karena tertangkap tangan mencuri buah sawit. Penyerangan itu menjadi buntut dari tuntutan mereka yang tidak digubris. Komplotan pencuri ini membalas dengan menyandera atasan perusahaan perkebunan di Kalimantan Tengah itu.
Penyerangan ke kompleks hunian pegawai perkebunan ini bukanlah yang pertama. Dan peristiwa yang terjadi hampir dua tahun lalu adalah yang paling traumatis. Sebagian penghuni masih mengingat jelas malam durjana itu.
Pihak perusahaan perkebunan sudah berupaya menjamin keamanan dan keselamatan karyawan. Pintu utama masuk kompleks hunian dialihkan supaya tak mudah ditembus. Memasang tembok tinggi di sekeliling kompleks dan menambah pagar besi di dalam perumahan. Petugas keamanan juga terus bersiap ditambah aparat kepolisian.
Pencuri Juga Menyasar Kebun Petani Sawit Lokal
Keresahan juga menjalar ke petani lokal. Mereka risau karena kebun sawitnya juga menjadi sasaran penjarahan. Maklum, lokasi perkebunan mereka berdekatan dengan perkebunan milik perusahaan swasta. "Dulu saya tidak pernah berjaga di kebun. Sekarang, setiap malam saya berjaga sejak pukul 2 sampai subuh sambil membawa parang," ucap Fauzan, petani lokal yang mempunyai kebun sawit seluas 40 hektare.
Fauzan mengaku pernah kecurian sebanyak dua kali. Setiap kasus pencurian, dia tekor sampai puluhan juta rupiah. Menurut dia, pelaku pencurian bukanlah penduduk kampung sekitar. "Mereka adalah oknum," ujarnya.
Salah satu kasus penjarahan buah sawit yang cukup fenomenal tahun lalu adalah ketika massa mengerahkan 200 unit kendaraan. Penjarahan massal itu terjadi pada Desember 2023 di siang bolong. Para pencuri bahkan memamerkan aksinya di media sosial.
Nilai kerugian atas penjarahan ini amat besar. Jika satu unit mobil pick-up bisa mengangkut sekitar tiga ton buah sawit, maka pemilik kebun ditaksir kehilangan sekitar Rp 1,5 miliar -dengan asumsi harga tandan buah sawit sebesar Rp 2.500 per kilogram.
Maraknya pencurian bikin pekerjaan Fauzan dan petani lainnya semakin susah. Truk dan mobil pick-up milik pencuri yang sering lalu lalang merusak akses jalan ke kebun. Padahal, petani hanya menggunakan jalan itu setiap 20 hari sekali atau sesuai masa panen sawit. Fauzan sekarang kesulitan menjual hasil panen ke pabrik karena jalan satu-satunya rusak berat.
Kondisi membuat biaya angkut menjadi mahal karena medan yang sulit dilalui kendaraan besar. Akibatnya, margin keuntungan petani semakin tipis. Di sisi lain, memperbaiki jalan bagai simalakama. Sebab, jalan yang bagus berarti memuluskan pencurian buah sawit.
Frekuensi pencurian semakin sering terjadi karena jarak tempat penjualan sawit (peron) kian dekat dengan kebun. Lokasinya berada di area enklaf, lahan milik pribadi yang berada di kawasan perkebunan kelapa sawit. Di sekitar kawasan perkebunan Fauzan, tercatat ada 14 peron yang diduga menampung hasil pencurian buah sawit. Kehadiran pabrik kelapa sawit tanpa kebun juga dianggap turut menyuburkan praktik pencurian ini. Sebab, dari peron, pabrik kelapa sawit tanpa kebun ini bisa menerima buah sawit dari peron.
Langkah mencegah pencurian bukannya tidak ada. Perusahaan perkebunan mengaku sudah melakukan berbagai upaya. Salah satunya, membatasi akses masuk ke kebun sawit. Bila selama ini kendaraan roda empat bisa langsung melaju ke lahan kebun, sekarang tidak lagi. Sekeliling lahan kebun sawit dibatasi dengan parit besar. Lebarnya empat meter dan kedalamannya lebih dari tiga meter.
Pembuatan parit ini sudah menyusahkan pengusaha. Biayanya besar dan menyebabkan lahan perkebunan berkurang. Panjang parit mencapai 300 kilometer, membentang antara Jakarta hingga Tegal, Jawa Tengah. Sekitar 21 ribu pohon kelapa sawit usia produktif terpaksa ditebas demi menghalau para penggarong.
Adapun tanah bekas galian parit itu kemudian ditimbun mengelilingi area luar perkebunan hingga setinggi tiga meter. Ini menjadi benteng pertama untuk menghalangi pencuri sawit. Kendati sudah ada pagar berlapis, para penjarah tetap saja ada. Mereka membuat jembatan kayu di atas parit.
Seorang kepala kebun di Kalimantan Tengah mengungkapkan, penjarahan ini sudah sangat mengganggu kinerja perusahaan. Produktivitas kebun anjlok hingga lebih dari 50 persen. "Belum lagi banyak tanaman yang rusak akibat pengambilan buah sawit secara serampangan," katanya. "Namun saya paling khawatirkan adalah keselamatan karyawan."
Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, provinsi berjuluk Bumi Tambun Bungai ini menghasilkan 17,98 persen kelapa sawit di Indonesia. Terdapat 220 perkebunan besar swasta dengan luas lahan mencapai 2,037 juta hektare.
Sepanjang 2024, Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah mencatat 321 kasus pencurian buah sawit. Pencurian ini terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Seruyan. Polisi menetapkan 593 orang sebagai tersangka.
Penyebab Maraknya Pencurian di Kebun Sawit
Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Tengah, Komisaris Besar Polisi Erlan Munaji mengatakan, masalah ekonomi menjadi faktor utama dibalik penjarahan ini. Selain itu, aparat kepolisian juga menuding narkoba sebagai salah satu pemicu maraknya pencurian. "Ada fakta pelaku yang menyisihkan uang hasil pencurian untuk membeli narkoba," ujar Erlan akhir Februari lalu.
Peredaran narkoba di kawasan perkebunan kelapa sawit cukup memprihatinkan. Tahun 2024, Polda Kalimantan Tengah telah menyita sabu-sabu sebanyak 138,81 kilogram. Pada akhir Februari 2025, polisi juga menggerebek jaringan pengedar narkoba di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Tiga orang ditahan dalam kasus ini. "Saya tegas memerintahkan untuk memotong pasar peredaran narkotika di Kalimantan Tengah," kata Erlan.
Fakta maraknya narkoba di Kawasan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah juga diungkapkan seorang penduduk lokal. Menurut dia, para penjarah buah kelapa sawit memakai narkoba sebagai stimulan. "Peredaran narkoba ini tidak terbendung lagi. Bahkan anak-anak juga sudah terpapar," katanya.
Dia menunjukkan dua rekaman video warga lokal yang menderita gangguan jiwa karena narkoba. Seorang korban narkoba dalam rekaman itu adalah temannya sendiri. Korban gangguan jiwa akibat zat haram itu berjalan telanjang di jalanan pada siang hari.
Faktor lain yang memicu pencurian adalah tuntutan fasilitas pembangunan kebun masyarakat (plasma). Masyarakat menampik pengambilan buah sawit dari kebun perusahaan sebagai pencurian. Mereka berdalih perusahan perkebunan sawit belum memenuhi kewajiban pembagian lahan sebesar 20 persen.
Temuan Ombdsman RI tentang Sengkarut Aturan Sawit dan Upaya Pembenahan oleh Kementerian Pertanian
Hasil kajian Ombudsman Republik Indonesia menunjukkan ada kekeliruan pemahaman masyarakat mengenai kewajiban fasilitas pembangunan kebun masyarakat ini. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menjelaskan, kekeliruan terjadi karena peraturan pemerintah yang saling tumpang tindih. "Setiap sektor ini mempunyai penafsiran regulasi masing-masing. Ini persoalan mendasar," ucapnya.
Tidak hanya di Kalimantan Tengah, penjarahan secara masal juga terjadi di Sulawesi. Selain persoalan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM), klaim lahan sepihak dari sekelompok masyarakat dengan bermodalkan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) memicu aksi penjarahan di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Sebagian penduduk mengklaim berhak ikut memanen meskipun tanaman tersebut bukan mereka yang menanam.
Kesalahpahaman ini telah memicu konflik horizontal antar-koperasi petani dengan pihak yang mengklaim lahan perkebunan sawit. Polemik tersebut menyebabkan semua pihak merasa berhak memanen pohon kelapa sawit yang ditanami perusahaan perkebunan. Pihak yang mengklaim lahan tersebut datang dari luar daerah dan memanen bermodalkan Surat Keterangan Tanah (SKT) bodong.
Di Sarolangun, Jambi, konflik melibatkan Suku Anak Dalam. Ada pihak yang mengiming-imingi uang tunai kepada suku Anak Dalam untuk menjarah kebun tempat mereka menetap sementara dengan dalih kepemilikan lahan sebesar 20 persen.
Yeka menjelaskan, peraturan pemerintah yang terbaru sudah tidak lagi mengharuskan perusahaan perkebunan menyediakan fasilitas pembangunan masyarakat berupa kebun. "Regulasi berubah ketika tidak dimungkinkan lagi membangun kebun kelapa sawit, maka dapat dilakukan pengembangan ekonomi lainnya. Jadi tidak harus berupa kebun," katanya.
Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar. Beleid memuat fasilitas pembangunan kebun tak lagi dalam bentuk pembagian lahan. Alternatifnya bisa berupa pola pembagian hasil, bentuk pendanaan yang disepakati para pihak, dan kemitraan lainnya. "Memang perlu sosialisasi lagi agar saling memahami demi perkebunan sawit berkelanjutan," kata Yeka.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto mengatakan telah melakukan sosialisasi tentang fasilitas pembangunan kebun masyarakat ini. "Kami sudah beberapa kali mengundang para stakeholder untuk sosialisasi," katanya. Dia tidak menjelaskan lebih jauh di mana dan kapan pelaksanaan sosialisasi itu berlangsung.
Kewajiban perusahaan perkebunan memberikan plasma muncul sejak ide Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di era Presiden Soeharto berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986. Gagasan ini diteruskan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Ketentuan ini menyatakan perkebunan untuk budidaya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.
Ketentuan perkebunan plasma kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Cipta Kerja. Dua undang-undang itu menyebutkan, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ombudsman juga menemukan tumpang tindih peraturan mengenai kewajiban fasilitas pembangunan kebun masyarakat. Contoh, di Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah yang masih mewajibkan perusahaan membangun plasma sebesar 20 persen dari luas tanah Hak Guna Usaha (HGU) kepada penduduk sekitar. Beleid ini tidak menentukan fasilitas pembangunan kebun masyarakat dalam bentuk lain.
Yeka mengakui carut-marut peraturan di usaha perkebunan sawit. Menurut dia, semua institusi mempunyai penafsiran regulasi sendiri-sendiri. "Jadi, masalahnya adalah ego sektoral," ucapnya.
Penjarahan buah sawit juga dipicu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat masyarakat mempertanyakan legalitas lahan kebun sawit milik perusahaan. MK memutuskan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK menyatakan usaha budidaya tanaman dan/atau hasil pengolahan perkebunan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan setelah mendapatkan hak atas tanah dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Sebelum adanya putusan MK itu, perusahaan perkebunan bisa melakukan usaha setelah mendapatkan HGU saja atau hanya IUP.
Pergantian frasa "dan/atau" menjadi "dan" dalam pasal 42 itu berdampak besar bagi usaha perkebunan. Sebab, ada beberapa perusahaan perkebunan yang belum memiliki HGU namun sudah memiliki IUP dan izin lokasi.
Pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi? Lagi-lagi ini karena tidak sinkronnya proses perizinan di tingkat pemerintahan. Mengutip keterangan pengusaha perkebunan dalam sidang MK, proses pengurusan izin perkebunan diberikan oleh instansi yang berbeda-beda, mulai dari bupati/wali kota, gubernur hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Masalahnya, izin yang diberikan di tingkat pemerintah daerah kerap tidak sinkron dengan pemerintah pusat. Jika sudah mempunyai izin, perusahaan perkebunan harus segera melakukan pembebasan lahan dan beroperasi. Di sisi lain, waktu untuk mendapatkan HGU dari BPN penuh ketidakpastian.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mencatat sepanjang 2016 hingga Oktober 2024, terdapat 537 perusahaan kelapa sawit yang memiliki IUP, tetapi tidak punya HGU dengan total luas perkebunan mencapai 2,5 juta hektare.
Persoalan kian rumit Ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 110A dan Pasal 110B memberikan kesempatan bagi perusahaan perkebunan untuk melegalisasi lahan perkebunannya yang masuk dalam kawasan hutan. Namun, proses verifikasi atas lahan yang masuk kawasan hutan itu belum tuntas-tuntas karena peraturan turunannya berubah-ubah.
Ombudsman menemukan setidaknya tiga kali perubahan keputusan menteri untuk proses pemutihan lahan tersebut. Ini yang menyebabkan proses pemutihan lahan sawit di Kawasan hutan berlarut-larut. "Pemerintah sebagai pelayan publik tidak menjunjung asas kepastian," kata Yeka.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto mengatakan telah berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk menyelesaikan perihal kebun rakyat dan perusahaan perkebunan dalam kawasan hutan. "Untuk pendataan sawit rakyat telah dikompilasi dalam Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya Elektronik. Sementara kebun terindikasi dalam kawasan hutan akan diusulkan proses penyelesaiannya ke Kementerian Lingkungan Hidup," ucap Heru.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan pemerintah seharusnya mengutamakan kepentingan negara dalam menyusun peraturan. "Kalau presidennya mau, ego sektoral seperti apapun pasti beres," ucapnya. (*)