Pengamat Minta RUU Pemilu Dibahas dengan Metode Kodifikasi, Bukan Omnibus

23 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu segera dibahas dengan metode kodifikasi.

Kodifikasi dilakukan untuk menghimpun aturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah yang sama, yaitu UU tentang pemilu. Dia pun meminta pembahasan itu segera dilakukan. "Harus dengan kodifikasi. Kalau tidak dimulai materi muatan tidak akan dibahas," kata Titi dalam sebuah webinar via zoom, Ahad, 26 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kodifikasi adalah upaya menghimpun berbagai peraturan menjadi undang-undang. Kodifikasi bisa dilakukan bila tema yang dibahas sama dan undang-undang yang aturannya sama. Titi mengatakan, pembahasan RUU pemilu penting untuk melakukan rekayasa konstitusional. Rekayasa itu diperuntukkan untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. 

Menurut Titi, UU Pemilu dan Pilkada saat ini perlu segera dicabut. Sebab, kedua aturan itu selama ini kerap tumpang tindih. Misalnya dalam hal menangani politik uang. UU Pilkada mengatur pemberi dan penerima bisa ditindak pidana. Sedangkan, UU pemilu hanya pemberi saja yang bisa ditindak pidana.

"Di UU Pemilu, juga hanya bisa ditindak dalam tahapan kampanye, pemungutan suara, dan masa tenang. Padahal dalam UU pilkada setiap tahapan bisa dijerat dengan politik uang," kata Titi.

Hal serupa disampaikan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusako Unand), Charles Simabura. Charles mengatakan, RUU pemilu harus dibahas dengan menggunakan metode kodifikasi, bukan omnibus politik.

Charles menilai, pembahasan RUU pemilu harusnya menggunakan metode kodifikasi. Sebab, tema yang dibahas sama dan ada di undang-undang sama. Pembahasan itu tak bisa menggunakan metode omnibus. Alasannya, omnibus merupakan upaya melakukan perubahan aturan dengan mengintegrasikan topik sama dalam undang-undang berbeda. "Topiknya sama tapi tersebar di beberapa UU berbeda," kata dia. 

Dia pun mengatakan, perubahan perlu mengatur sejumlah materi penting. Di antaranya, pembiayaan kampanye oleh negara yang membebani penyelenggaraan pemilu, dan pengaturan mengenai laporan dana kampanye yang masih ambigu. "Termasuk batas maksimal sumbangan dana kampanye," kata dia. 

DPR telah memulai masa persidangan di periode 2024-2025 pada Selasa, 21 Januari 2025. Pembukaan masa sidang kedua ini dilakukan usai legislator Senayan melakukan reses sejak 6 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025.

Setelah reses berakhir, masing-masing komisi bakal menggelar rapat bersama mitra kerjanya untuk membahas persoalan atau wacana. Salah satu yang akan dibahas DPR usai reses ialah wacana omnibus law politik.

Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam tulisan ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online