TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid telah mencabut 50 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pagar laut, di perairan Tangerang. Ia menyebut sisa sertifikat lain masih dalam proses untuk ditindaklanjuti.
"Sisanya sedang berjalan, kita masih on progress, kita cocokkan. Mana yang di dalam garis pantai, mana yang di luar garis pantai," kata Nusron, Jumat, 31 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nusron merinci, ada ratusan sertifikat yang terbit di dua desa dari 16 desa yang terbangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km) di Kabupaten Tangerang. Kedua desa tersebut, yakni Desa Kohod di Kecamatan Pakuhaji dan Desa Karang Serang di Kecamatan Sukadiri.
Di Desa Kohod, terbit sebanyak 263 SHGB dan 17 bidang SHM. Dari 263 SHGB itu, jika ditotal jumlah luasnya mencapai 390,7985 hektare. Sedangkan SHM 17 bidang memiliki luas 22,934 hektare. Dari jumlah itu, Kementerian ATR/BPN telah membatalkan 50 sertifikat.
Menurut Nusron, sertifikat pagar laut yang terbit di Tangerang merupakan konversi dari girik ke SHGB dan SHM. alias tidak ada sertifikat yang bersifat baru. Sertifikat-sertifikat itu berasal dari girik yang dimiliki masyarakat, lalu dikonversi menjadi SHGB dan SHM. Rata-rata girik tersebut terbit pada 1982. "Jadi ini tidak pemberian hak baru. Ini adalah konversi, dari hak girik," ujarnya.
Sementara itu, untuk di Desa Karang Serang, Nusron menyebut terbit sertifikat tiga bidang sejak 2019. Meski begitu, Nusron belum menyebutkan sertifikat tersebut apakah SHGB atau SHM.
Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian ATR/BPN Asnaedi menjelaskan bahwa girik awalnya merupakan bukti kepemilikan tanah lama berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UU tersebut, pemilik tanah diberikan waktu untuk mendaftarkan tanah mereka. Namun, dengan berjalannya waktu dan beberapa peraturan tambahan, hak atas tanah yang bersumber dari girik seharusnya sudah tidak berlaku.
Menurut Asnaedi, selama ini banyak sengketa dan konflik tanah yang berawal dari girik. "Bahkan, girik seringkali menjadi celah yang dimanfaatkan oleh mafia tanah melalui dokumen palsu," ujarnya. Karena itu, ia berujar, penghapusan girik bertujuan untuk mencegah konflik di masa depan. Girik atau bukti kepemilikan tanah lama tidak akan berlaku lagi pada 2026, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021.
Bareskrim Polri saat ini tengah menyelidiki sejumlah dugaan tindak pidana di balik pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang itu. Berdasarkan hasil penyelidikan, ditemukan indikasi pemalsuan dokumen serta pencucian uang ihwal penerbitan sertifikat kepemilikan lahan di perairan tersebut.
Polri telah berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dan Inspektorat Jenderal BPN untuk memastikan keabsahan dokumen-dokumen yang digunakan dalam penerbitan sertifikat hak guna bangunan dan hak milik di kawasan tersebut.
Dari hasil koordinasi dan penyelidikan langsung dengan lembaga terkait, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan pihaknya mendapatkan informasi bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyegel pagar laut pada 9 Januari 2025 karena tidak memiliki izin dasar kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL) dan berada di zona perikanan tangkap serta pengelolaan energi.
Penyelidikan juga mengarah pada pihak-pihak yang mengklaim bahwa pagar laut ini merupakan inisiatif masyarakat setempat untuk mitigasi abrasi. Namun, hingga kini tidak ada pihak yang secara resmi mengakui bertanggung jawab atas pembangunan pagar tersebut.
Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang menyatakan area pagar laut telah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Hak Milik (SHM), dengan rincian: 234 bidang SHGB atas nama PT. Intan Agung Makmur (PT. IAM), 20 bidang SHGB atas nama PT. Cahaya Inti Sentosa (PT. CIS), sembilan bidang SHGB atas nama perorangan, dan 17 bidang SHM dari girik.
"Dugaan sementara bahwa pengajuan SHGB dan SHB tersebut menggunakan girik-girik serta dokumen bukti kepemilikan lainnya yang diduga palsu," kata Djuhandani.
Intan Setiawanty dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.