TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menangkap salah seorang tersangka kasus korupsi tata niaga PT Timah Tbk, Hendry Lie, pada Senin, 18 November 2024. Hendry ditangkap saat tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dari negara tetangga Singapura.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar, mantan bos Sriwijaya Air tersebut sudah berstatus tersangka sejak April 2024. Hendry adalah tersangka nomor 22 dari total 23 tersangka yang dijerat oleh tim penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi penambangan timah di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk 2015-2022.
Fakta persidangan mengungkap Hendry diduga menikmati uang sebesar Rp 1 triliun dari hasil korupsi timah. Uang itu didapat ketika dia menjadi Beneficial Ownership atau pemilik manfaat dari PT Stanindo Inti Perkasa yang dituduh mengajukan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) periode tahun 2015-2019 yang isinya tidak benar.
Catatan terakhir pemeriksaan terhadap Hendry dilakukan pada Februari 2024. Namun ketika itu statusnya masih sebagai saksi. Selain Hendry, beberapa nama pengusaha terkenal juga diseret ke pengadilan dalam kasus ini, termasuk Harvey Moeis dan Helena Lim.
Berikut sejumlah pernyataan Kejaksaan Agung setelah menangkap Hendry Lie.
Beberapa Aset Hendry Lie Sudah Disita
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan pihaknya telah menyita beberapa aset milik Hendry Lie.
“Jadi semua aset para tersangka sudah kami lakukan penelusuran, kami lakukan pencarian, dan kami lakukan penyitaan, tidak terkecuali aset Hendry Lie,” kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa, 19 November 2024 seperti dikutip dari Antara.
Dia menyebutkan salah satu aset milik Hendry yang telah disita penyidik adalah sebuah bangunan di Bali. “Banyak tanah dan bangunan, termasuk yang di Bali, yang sudah kami lakukan penyitaan,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Agustus 2024, Kejaksaan Agung menyita satu unit vila di Bali milik Hendry yang dibangun di atas tanah seluas 1.800 meter persegi yang diperkirakan senilai Rp 20 miliar.
Negara Dirugikan Rp 300 Triliun
Menurut Abdul Qohar, dalam kasus ini Hendry berperan sebagai Beneficiary Owner PT TIN yang secara sadar dan sengaja berperan aktif melakukan kerja sama penyewaan peralatan processing peleburan timah antara PT Timah Tbk dengan PT TIN.
Adapun penerimaan bijihnya bersumber dari CV BPR dan CV SMS yang sengaja dibentuk sebagai perusahaan untuk penerimaan bijih timah dari kegiatan penambangan timah ilegal.
“Akibat perbuatan yang dilakukan tersangka Hendry bersama-sama dengan 20 tersangka lainnya yang saat ini dalam proses persidangan, negara dirugikan sebesar Rp 300 triliun," ucapnya.
Hendry Lie Pulang ke Indonesia Secara Diam-diam
Kejaksaan Agung mengungkapkan Hendry Lie pulang ke Indonesia dari Singapura secara diam-diam dengan maksud menghindari petugas. Abdul Qohar mengatakan Hendry telah berada di Singapura sejak 25 Maret 2024 setelah pemeriksaan pertama sebagai saksi dalam kasus itu.
“Namun yang bersangkutan tidak kembali lagi dengan alasan sedang menjalani pengobatan di Singapura, di Rumah Sakit Mount Elizabeth,” kata dia.
Hendry lantas ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu pada 15 April 2024. Hendry kembali ke Indonesia karena paspornya ditarik oleh Imigrasi dan tidak bisa diperpanjang.
“Untuk kepulangan ke Indonesia, paspor yang bersangkutan berakhir pada tanggal 27 November 2024 sehingga tidak memungkinkan perpanjangan masa berlaku karena penyidik sudah melayangkan surat ke Kedutaan Besar Singapura melalui Imigrasi untuk melakukan penarikan terhadap paspor yang bersangkutan,” ucapnya.
Meski pulang secara diam-diam, Qohar menegaskan penyidik telah memonitor keberadaan Hendry sejak April 2024 hingga akhirnya berhasil menangkap pendiri maskapai penerbangan Sriwijaya Air itu di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
VEDRO IMANUEL G | M. FAIZ ZAKI | ANTARA
Pilihan editor: Cara Pramono Anung Tanggulangi Krisis Kepemilikan Rumah jika Jadi Gubernur Jakarta