RUU KUHAP Dibahas Setelah Lebaran, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP Soroti Sejumlah Pasal

2 days ago 13

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI dikabarkan siap membahas draf final Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP selepas Lebaran 2025.

Rencana itu bergulir setelah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan RUU tersebut pada Kamis, 20 Maret 2025. “Draf final RUU KUHAP akan dibahas segera karena Surpres-nya per hari ini sudah keluar, sudah ditandatangani Presiden Prabowo Subianto,” ujar Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politikus Partai Gerindra ini mengatakan rapat kerja terkait pembahasan RUU KUHAP kemungkinan besar akan dimulai pada masa sidang berikutnya, setelah DPR RI memasuki masa reses pekan depan atau setelah Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah.

Ia menargetkan pembahasan selesai dalam waktu yang relatif singkat mengingat jumlah pasal yang tidak terlalu banyak. “Jadi paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru,” katanya.

Namun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai sejumlah pasal dalam RUU KUHAP tidak menjawab masalah sistem peradilan pidana. Koalisi yang terdiri dari belasan lembaga bidang hukum seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan lainnya tersebut mengungkapkan sedikitnya ada lima alasan RUU KUHAP disorot.

Dikutip dari laman Icjr.or.id, berikut lima alasan RUU KUHAP mendapat sorotan:

1. Pasal Jaminan Perekaman CCTV pada Pemeriksaan dan Penahanan

Koalisi menemukan celah pada Pasal 31 ayat (2) RUU KUHAP yang menyebut pemeriksaan tersangka dilakukan dengan direkam CCTV, yang dapat menjadi alat pencegah kekerasan dan penyiksaan, tapi tidak wajib. Menurut mereka, ketentuan ini memberikan celah besar terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa, yang seharusnya dilindungi secara tegas.

“Selain itu, dalam pasal tersebut juga tidak disebutkan adanya kewajiban untuk pemasangan CCTV di tempat penahanan,” tulis koalisi dalam siaran pers yang dirilis pada Jumat, 21 Maret 2025.

Permasalahan lainnya juga ditemukan pada Pasal 31 ayat (3) yang menyebutkan bahwa rekaman kamera pengawas berada dalam penguasaan Penyidik. Menurut koalisi, untuk tujuan checks and balances, seharusnya dikelola oleh lembaga lain, terutama lembaga yang tidak terlibat pada perkara. Sebab rekaman merupakan bukti yang harus bisa diakses baik oleh penuntut umum maupun tersangka jika membutuhkan.

“Yang jelas jangan sampai rekamannya dikuasai hanya oleh penyidik, dan tanpa pengawasan,” kata koalisi.

Mereka juga mencatat bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (4), tersangka atau terdakwa atas permintaan hakim juga bisa mengakses atau menggunakan rekaman kamera pengawas tersebut untuk kepentingannya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Namun RUU KUHAP tidak mengatur lebih lanjut terkait mekanisme yang jelas bagaimana pemberian akses rekaman ini.

“Oleh karena akses ini penting untuk menjamin hak tersangka/terdakwa dalam melakukan pembelaan, maka alur mekanisme pemberian akses tersebut wajib diatur dalam undang-undang,” kata koalisi.

Di sisi lain, koalisi menilai masalah penyiksaan dan kekerasan harus dicegah secara sistem melalui check and balances sejak awal penangkapan dan penahanan. Sistem check and balances ini harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan imparsial yakni pengadilan.

Sayangnya, dalam RUU KUHAP masih belum ada mekanisme yang mengatur kewajiban untuk menghadirkan orang yang ditangkap agar secara otomatis dibawa ke hadapan hakim setelah misalnya 48 jam ditangkap, untuk ditinjau proses penangkapan yang telah dilakukan dan kemudian ditentukan perlu tidaknya penahanan.

2. Pasal Perlindungan Hak Kelompok Rentan

Koalisi menemukan bahwa hak-hak kelompok rentan yang dicantumkan dalam Pasal 137-139 RUU KUHAP tidak mencantumkan mekanisme operasional yang jelas dalam mengatur bagaimana hak-hak tersebut dapat diakses dan dipenuhi. Masalah yang sama juga ditemukan pada ketentuan soal hak-hak tersangka atau terdakwa, saksi, dan korban.

“Ini bukan hanya sekadar kekurangan, tetapi sebuah pengabaian terhadap kebutuhan mendasar untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dapat diakses dan dinikmati secara nyata,” kata mereka.

Selain itu, koalisi juga menilai adanya ketidakjelasan pihak mana yang dibebankan kewajiban atas pemenuhan hak-hak tersebut. Forum untuk mengajukan keberatan atas dugaan pelanggaran hak hingga konsekuensi pelanggaran hak juga masih belum diatur. Tanpa adanya langkah konkret, pencantuman hak-hak ini menurut mereka hanya akan menjadi simbol kosong.

3. Pasal tentang Peran Advokat Diperkuat

Menurut Koalisi, sistem peradilan Indonesia menempatkan advokat sebagai pengemban profesi luhur (officum nobile) yang memiliki peran sentral dalam penegakan hukum. Namun dalam praktiknya, advokat masih memiliki sejumlah hambatan. Misalnya dalam hal mengakses alat bukti maupun berkas-berkas perkara yang menjadi kebutuhan mendasar untuk kepentingan pembelaan maupun upaya hukum.

Ketidakseimbangan dalam proses peradilan sebenarnya sudah terjadi sejak tahap penyidikan. Pasal 33 RUU KUHAP mengatur bahwa pada pemeriksaan tersangka di tahap penyidikan, Advokat hanya dapat melihat dan mendengar saja, serta menyatakan keberatan jika pertanyaan penyidik bersifat mengintimidasi dan menjerat.

Peran advokat yang lemah tersebut menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengumpulan konstruksi fakta yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Padahal, BAP pada praktiknya selalu digunakan sebagai dasar pemeriksaan, tak terkecuali pada pemeriksaan di persidangan, bahkan hingga tingkat upaya hukum.

“Oleh karena itu, peran Advokat seharusnya bisa diperkuat salah satunya dengan memberikan kewenangan kepada Advokat untuk memberikan catatan/pandangan advokat terkait proses pemeriksaan kliennya, yang nantinya akan disatukan atau termuat dalam BAP dan berkas perkara,” ujar koalisi.

Di sisi lain, koalisi menemukan beberapa ketentuan yang tidak sejalan dengan prinsip keberimbangan dalam pembuktian di persidangan, antara lain, Pasal 197 ayat (10) RUU KUHAP, yang menyatakan setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari Advokat selama persidangan.

“Sedangkan terdakwa dan penasihat hukumnya tidak diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan penyanggahan lebih lanjut. Sistem adversarial memang memungkinkan para pihak dapat saling menyanggah, namun secara prinsip harus tetap berimbang,” kata mereka.

Menurut koalisi, kebebasan advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya juga dibatasi dalam RUU KUHAP ini. Dalam Pasal 142 ayat (3) huruf b advokat bahkan dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya. Rumusan pasal ini jelas bertentangan dengan berbagai ketentuan yang menjamin status advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri sebagaimana telah diatur dalam UU Advokat.

Ketentuan ini juga menjadi ancaman bagi peran advokat dalam melaksanakan peran non litigasi termasuk peran pemberi bantuan hukum dalam memberikan bantuan hukum di luar pengadilan. Terlebih, hal ini juga merupakan bentuk pembatasan terhadap hak berpendapat dan berekspresi.

“Selain itu, klaim mengenai penguatan peran advokat dalam RUU KUHAP kami nilai masih belum memadai karena tidak sejalan dengan jaminan yang layak terkait hak atas bantuan hukum. Hal tersebut justru mengakomodasi pola pelanggaran hak atas bantuan hukum yang terjadi selama ini,” kata koalisi.

Ketimpangan lainnya terdapat pada Pasal 146 ayat (4) dan (5) di mana tersangka/terdakwa tidak didampingi oleh seorang advokat apabila menyatakan menolak didampingi, dibuktikan dengan berita acara yang dibuat pejabat yang berwenang sesuai tahapan pemeriksaan. Rumusan pasal ini justru melegitimasi modus pelanggaran hak tersangka/terdakwa yang selama ini sering terjadi.

4. Pasal Syarat Penahanan

Syarat penahanan diatur dalam Pasal 93 ayat (5) dengan list alasan penahanan yang lebih banyak. Sebelumnya KUHAP hanya mengatur tiga alasan seseorang dapat ditahan, sekarang RUU KUHAP mengatur sembilan alasan penahanan. Namun alasan penahanan di RUU KUHAP justru sangat karet, antara lain, memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan, tidak bekerja sama dalam pemeriksaan, dan menghambat proses pemeriksaan.

“Apa yang dimaksud dengan menghambat proses pemeriksaan? Tidak jelas. Pada akhirnya penyidik malah menafsirkannya secara subjektif, misal pada praktiknya selama ini penyidik merasa tersangka yang meminta penasihat hukum telah menghambat proses pemeriksaan,” kata koalisi.

Menurut koalisi, alasan penahanan berupa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan juga bertentangan dengan hukum acara pidana yang memberikan hak ingkar bagi tersangka atau terdakwa. Hal tersebut tidak dapat menjadi dasar melakukan penahanan yang harus berdasarkan keadaan objektif, apabila penahanan tidak dilakukan pemeriksaan akan terhambat.

Koalisi juga menemukan bahwa kriteria/indikator pemenuhan tindakan-tindakan sebagai alasan penahanan dalam RUU KUHAP tidak ditentukan. Padahal masalah utama dari praktik pengambilan keputusan penahanan selama ini salah satunya bersumber dari tidak adanya standar yang jelas dalam melakukan penahanan.

"Selain itu, tidak ada kewajiban untuk menjelaskan penilaian berdasarkan keadaan faktual yang membuktikan syarat-syarat penahanan tersebut. Dengan demikian, RUU KUHAP bukan hanya tidak menjawab masalah-masalah yang terjadi selama ini, malah semakin membuat kabur pengaturan penahanan," ujar mereka.

5. Pasal Restorative Justice atau RJ

Koalisi mempertanyakan bagaimana RUU KUHAP memaksimalkan restorative justice atau bertujuan memulihkan korban, apabila konsep RJ yang diatur dalam draf itu keliru. RJ merupakan pendekatan dalam menangani perkara pidana yang bertujuan memulihkan korban, seperti dengan pemberian ganti rugi pengobatan luka fisik dan psikologi, pelibatan korban dalam Mediasi Penal untuk menyampaikan kerugian dan kebutuhan pemulihannya.

Namun RUU KUHAP hingga kini masih keliru mengira RJ merupakan penghentian perkara di luar persidangan (Diversi). Padahal RJ dan diversi adalah dua barang yang berbeda. Tak berhenti di situ, dalam menyusun pasal-pasal diversi pun RUU KUHAP masih salah memahami apa itu penyelesaian perkara di luar persidangan (Diversi).

Penuntut umum bisa menangguhkan tuntutannya pada perkara yang ringan bila tersangka mau memenuhi kewajibannya melakukan hal tertentu, misalnya jika membayar ganti rugi kepada korban. Pasal 74-83 RUU KUHAP yang mengatur RJ dilakukan oleh penyidik Polisi menjadi tidak masuk akal, karena urusan penangguhan tuntutan adalah wewenang penuntut umum.

Lebih tidak masuk akal, penghentian perkara dilakukan pada tahap penyelidikan, yang bahkan masih belum tahu apakah ada tindak pidana atau tidak. Anehnya, RUU KUHAP memberikan wewenang penuh mekanisme Diversi pada penyelidik dan penyidik Kepolisian. Sama sekali tidak ada pengawasan lembaga lain, sangat problematis dan tidak akuntabel.

“Tanpa kepastian akuntabilitas, proses ini berisiko menjadi alat untuk mengabaikan keadilan bahkan pemerasan. Sama seperti yang terjadi selama ini, Kepolisian justru mengintimidasi korban agar mau berdamai,” kata koalisi.

Berdasarkan catatan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak agar RUU KUHAP ke depan secara substansial harus mampu memperbaiki kerangka dasar sistem peradilan pidana. Hal ini dapat diwujudkan dengan penyusunan DIM di Pemerintah yang harus merespons permasalahan dalam RUU KUHAP sebagaimana dijelaskan di atas. Klaim DPR bahwa RUU KUHAP memuat berbagai kebaruan ternyata omong kosong belaka dan justru problematik.

“RUU ini harus menjadi rekodifikasi hukum acara pidana yang berlandaskan pada prinsip due process of law dan penguatan hak asasi manusia,” kata koalisi.

Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online