RUU Polri Dibahas setelah DPR Terima Surpres, Ini Poin-poin Penting Perubahannya

14 hours ago 6

DPR masih menunggu surat presiden (surpres) untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau RUU Polri. Ketua DPR Puan Maharani menampik kabar yang menyebutkan DPR segera membahas revisi UU Polri setelah mengesahkan revisi UU TNI.

Puan menegaskan, apabila ada surpres yang beredar di publik, itu bukan surpres resmi yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Dia juga memastikan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Polri yang beredar saat ini bukan draf resmi karena pimpinan DPR belum menerima surpres RUU tersebut. “Jadi, kalau sudah ada DIM yang beredar, itu bukan DIM resmi,” kata Puan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Maret 2025.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyebutkan revisi UU Polri belum akan dibahas dalam waktu dekat. Dasco mengklaim belum ada supres ihwal RUU Polri. “DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” kata Dasco saat dihubungi Tempo pada Senin, 24 Maret 2025.

RUU Polri termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Ketua Kelompok Fraksi Partai Nasdem Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengatakan pihaknya siap membahas revisi UU Polri jika dianggap mendesak.

Namun, kata dia, saat ini Komisi III DPR masih memprioritaskan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP, yang ditargetkan rampung pada Oktober 2025. “Saat ini, Komisi III masih KUHAP, tentu kalau dipandang mendesak juga dibahas RUU Kejaksaan, RUU Kepolisian, kami siap saja di Komisi III untuk membahas itu,” kata Rudianto melalui keterangan resmi pada Kamis, 20 Maret 2025.

Poin-poin Penting Perubahan dalam Revisi UU Polri

Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri yang diperoleh Tempo. Misalnya, Pasal 16 ayat 1 huruf q, yang menyatakan Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik. Menurut koalisi, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini juga berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Penyadapan di ruang siber pun rentan terjadi, sebab dengan revisi UU Polri ini kepolisian memiliki wewenang yang diklaim sesuai UU Penyadapan. “Padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur pada 2 Juni 2024. YLBHI adalah anggota koalisi ini bersama KontraS, Imparsial, IM57+ Institute, SAFEnet, ICW, dan 15 organisasi lainnya.

Usulan perubahan yang juga menuai polemik dalam draf RUU Polri juga terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g. Pasal itu menyatakan Polri bertugas mengoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang, dan bentuk pengamanan swakarsa.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai usulan perubahan pasal ini justru mendekatkan peran Polri sebagai investigator superbody. Tugas pembinaan terhadap pasukan pengamanan swakarsa yang dimiliki Polri juga perlu dievaluasi. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil menilai tugas itu berpotensi memunculkan pelanggaran HAM maupun ruang bagi ‘bisnis keamanan’.

Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu Pasal 16 A, yang mengatur tentang kewenangan Polri menyusun rencana dan kebijakan di bidang Satuan Intelijen Keamanan (Intelkam) sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.

Koalisi Masyarakat Sipil memandang usulan itu membuat kewenangan Intelkam yang dimiliki Polri melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Lewat usulan pasal ini, Polri diduga punya kewenangan menagih data intelijen dari lembaga-lembaga seperti BSSN hingga Badan Intelijen Strategis TNI.

Masyarakat Sipil juga menentang penambahan batas usia pensiun bagi anggota Polri. Usulan ini tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 30 ayat 2. Pasal itu menyatakan batas usia pensiun polisi diusulkan diperpanjang menjadi 60 tahun untuk anggota Polri, 62 tahun untuk anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan dalam tugas, serta 65 tahun bagi pejabat fungsional.

Koalisi khawatir penambahan batas usia pensiun anggota Polri itu berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal kepolisian. Masyarakat Sipil berpendapat usulan ini tidak menjadi solusi atas masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri.

Muhammad Isnur mendesak DPR dan pemerintah tidak menyusun undang-undang secara serampangan, termasuk pembahasan RUU Polri ini. Dia meminta lembaga legislatif memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat. “Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini,” kata Isnur pada Ahad, 23 Maret 2025.

Komisi III DPR Pastikan Pembahasan RUU Polri akan Berlangsung Terbuka

Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan memastikan pembahasan RUU Polri akan dibahas setelah parlemen menerima surat presiden. “Apakah akan dibahas di tempat tertentu? Tentu saja kami biasanya di sini, di parlemen," kata Hinca saat ditemui di gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin, 24 Maret 2025.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan Komisi III akan mengundang banyak ahli yang memiliki kapasitas memberi masukan tentang aturan kepolisian Indonesia. Keterbukaan menjadi tolok ukur komisinya untuk membahas RUU Polri. “Lihatlah kalau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja kami bikin belum kami mulai, panjanya itu sudah kami sangat terbuka, bahkan kami bikin powerpoint-nya. Kami jelaskan substansinya. Kami undang banyak orang datang,” ujarnya.

Dia menuturkan Komisi III DPR, yang membidangi penegakan hukum, selalu terbuka dengan pembahasan apa pun. Hinca menyebut keterbukaan itu seperti kasus besar. yaitu Ferdy Sambo hingga kasus yang dialami oleh masyarakat sipil. “Untuk koreksi kepolisian, jangan menetapkan tersangka pada hal-hal yang kecil itu tadi,” ucap Hinca.

Hinca pun memastikan, jika RUU Polri dibahas di Komisi III, maka pembahasannya akan dilakukan secara terbuka seperti yang dilakukan saat membahas RUU KUHAP.

Hammam Izzuddin, Novali Panji Nugroho, dan M. Raihan Muzakki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: OPM Serang Guru dan Nakes, Dari Mana Kelompok Itu Mendapatkan Senjata Api

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online