Sederet Usulan KY kepada DPR dalam Penyusunan RUU KUHAP

8 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III DPR menggulirkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025. Untuk mendengar masukan guna menyusun RUU KUHAP, Komisi III DPR menggelar rapat dengan Komisi Yudisial atau KY di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 10 Februari 2025.

DPR menargetkan KUHAP yang baru nantinya dapat berlaku bersamaan dengan berlakunya KUHP pada 1 Januari 2026. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan diperlukan hukum acara pidana yang baru untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan baru dalam KUHP. “Nah, di KUHP yang baru kan pasalnya juga berubah, tambah lagi putusan MK yang mengubah banyak hal terkait KUHAP,” kata politikus Partai Gerindra, seperti dikutip dari Antara.

Dalam rapat tersebut, KY menyampaikan beberapa usulan berkaitan dengan RUU KUHAP yang sedang dibahas di DPR. Berikut beberapa usulannya.

Menyinkronkan Aturan Penyadapan di Luar Penegakan Hukum

Ketua KY Amzulian Rifai mengusulkan agar RUU KUHAP menyinkronkan aturan mengenai penyadapan di luar penegakan hukum pidana. “Mempertegas ketentuan lain yang tidak sinkron dengan aturan yang ada dalam KUHAP, utamanya terkait dengan pengaturan mengenai penyadapan dan pemanggilan paksa di luar kepentingan penegakan hukum pidana,” ujarnya.

Dia lantas menjelaskan aturan mengenai penyadapan belum diatur di dalam KUHAP, melainkan tersebar di beberapa aturan perundangan. Misalnya, di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Merujuk pada aturan tersebut, kata dia, upaya penyadapan dimungkinkan dalam rangka penyelidikan maupun penyidikan dalam penegakan hukum pidana. Dia menyebutkan upaya penyadapan juga mendapatkan peluang penggunaannya untuk kepentingan penegakan disiplin maupun pelanggaran etik.

Namun dia mengatakan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY, yang di dalamnya ikut memasukkan pula aturan mengenai upaya penyadapan, dalam praktiknya tidak dapat diimplementasikan. Sebab, kata dia, posisi KY bukan institusi penegak hukum, melainkan lembaga yang bertugas mengawasi hakim.

“Pelaksanaan ketentuan (penyadapan) ini belum dapat terwujud, mengingat ketidakselarasan aturan yang digunakan sebagai landasan. Aparat penegak hukum bersikukuh bahwa kegiatan penyadapan hanya bertujuan untuk kepentingan penegakan hukum. Sedangkan kepentingan yang ada dalam aturan Undang-Undang Komisi Yudisial semata digunakan untuk membuktikan dugaan pelanggaran kode etik atau pedoman berlaku hakim,” ujarnya.

Situasi yang sama, kata dia, berlaku juga untuk aturan mengenai upaya paksa yang ada di UU KY, di mana aturan yang ada tidak memungkinkan memberikan ancaman bagi saksi yang mangkir dalam panggilan. Untuk itu, dia menegaskan pengaturan mengenai penyadapan dan pemanggilan paksa di luar kepentingan penegakan hukum pidana perlu diatur secara tegas dalam RUU KUHAP agar aturan yang ada selaras satu sama lain sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat.

Pengawasan Aparat Penegak Hukum Diatur dalam RUU KUHAP

Amzulian juga mengusulkan pengawasan kepada aparat penegak hukum harus menjadi perhatian serius dan aturan itu dimasukkan ke dalam RUU KUHAP. Dia mengatakan pengawasan terhadap perilaku dan tindakan aparat hukum harus di semua tingkatan peradilan, termasuk memperkuat pengawasan terhadap hakim oleh KY. “Jika perlu, pengawasan terhadap aparat penegak hukum diatur di dalam bab tersendiri di dalam perubahan KUHAP,” kata dia.

Dia menuturkan KUHAP yang ada saat ini hanya mengatur tentang pengawasan terhadap putusan pengadilan. Padahal, penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum bisa saja terjadi sejak penyelidikan.

Memasukkan Aturan Bantuan Hukum bagi Terpidana

KY pun mengusulkan agar dalam penyusunan RUU KUHAP ikut memasukkan aturan mengenai jaminan penyediaan bantuan hukum bagi terpidana. “Tidak ada penasihat hukum yang bersedia membantu, maka sebaiknya negara juga bisa menyediakan bantuan hukum bagi terpidana,” kata Anggota KY Joko Sasmito dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR.

Dia mengatakan penyediaan bantuan hukum di dalam persidangan sejauh ini peruntukannya masih sebatas untuk pendampingan dalam perkara di tingkat pertama, banding, dan kasasi. Menurut dia, ketentuan hukum yang ada dalam Pasal 54 KUHAP cuma mengatur bantuan hukum hanya diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa. “Sedangkan untuk terpidana tidak diatur,” ucapnya.

Padahal, kata Joko, terpidana masih memiliki hak memperjuangkan keadilan melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). “Jika pada tahap penyidikan, penyelidikan, penuntutan atau persidangan, sampai pada tingkat kasasi telah dijamin adanya bantuan hukum berdasarkan KUHAP, hendaknya pada saat pengajuan PK juga perlu diberi jaminan tersebut,” tuturnya.

Dia menuturkan hal tersebut diperlukan karena tidak semua terpidana memiliki kemampuan menyediakan sendiri penasihat hukumnya. Dia lantas mencontohkan sejumlah terpidana kasus Vina Cirebon yang mengajukan permohonan PK ke ke Mahkamah Agung (MA), dan diputuskan ditolak pada Desember 2024. “Kasus yang pernah viral pada tahun lalu di Cirebon menjadi salah satu contoh para terpidana merasa putusan pengadilan telah salah sehingga ia mengajukan PK untuk membuktikan dirinya tidak bersalah,” kata dia.

RUU KUHAP Tegaskan Kembali Aturan Pengamanan dalam Persidangan

Adapun Joko mengatakan KY juga mengusulkan agar RUU KUHAP menegaskan kembali aturan terkait pengamanan dalam persidangan. “Penting untuk menegaskan kembali aturan yang telah dituangkan dalam KUHAP untuk menjamin ketertiban dan keamanan dalam persidangan,” ujarnya. 

Termasuk, kata dia, aturan lebih lanjut perihal kriteria dan prosedur tata laksana pengamanan dalam persidangan tersebut. “Perlu disusun mengenai kriteria dan prosedur secara lebih tegas tentang implementasi pengamanan dalam persidangan, baik di dalam KUHAP ataupun di dalam aturan pelaksanaannya,” ujarnya.

Meskipun aturan mengenai kewajiban menghormati pengadilan telah diatur dalam KUHAP, kata dia, tindakan-tindakan contempt of court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan masih sering terjadi dalam persidangan.

Dia mengatakan aturan pengamanan dalam persidangan perlu ditegaskan kembali dalam RUU KUHAP guna menjamin perlindungan terhadap aparat penegak hukum, khususnya hakim, yang sering kali menemui ancaman-ancaman dalam persidangan.

“Banyak ditemui selama persidangan terjadi pengancaman terhadap aparat penegak hukum, khususnya hakim dengan berbagai bentuk tindakan, termasuk dalam persidangan. Di mana pihak-pihak yang tersulut emosinya melampiaskan dengan tindakan yang bersifat represif dan membahayakan bagi keselamatan hakim,” ucapnya.

Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Mayjen Novi Helmy Jadi Dirut Bulog, TNI: Berdasarkan MoU dengan Kementerian BUMN

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online