TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tragedi kelam berupa kekerasan terhadap etnis Tionghoa tercatat dalam sejarah Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut selaiknya menjadi pelajaran tentang pentingnya menjaga toleransi dan menghormati keberagaman. Berikut adalah sejumlah tragedi kelam yang berkaitan dengan etnis Tionghoa di Indonesia.
1. Tragedi Angke di Batavia (1740)
Tragedi Angke dinamakan begitu karena dampak peristiwa itu yang mengerikan. Dilansir dari buku Pembantaian Massal, 1740: Tragedi Berdarah Angke, karya Hembing Wijayakusumah, banyak mayat warga Tionghoa bergelimpangan di sudut kota, terutama di dekat Kali Angke. Sungai yang berdekatan dengan pemukiman etnis Tionghoa itu disebut penuh jenazah dan tercemar darah.
Kali itu menjadi saksi bisu pembantaian 10 ribu orang Tionghoa oleh VOC pada November 1740. Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier adalah sosok yang menginstruksikan pembantaian itu. Dalam sebuah lukisan terkenal karya Jakob van Der Schley, menggambarkan peristiwa itu dengan mengerikan. Api berkobar di rumah-rumah warga Tionghoa, sementara banyak adegan kekerasan di sekitar kali.
2. Kekerasan Terhadap Etnis Tionghoa di Yogyakarta pada Masa Revolusi
Yogyakarta, yang dikenal sebagai wilayah yang relatif aman pada masa Revolusi Indonesia, ternyata juga tidak sepenuhnya bebas dari kekerasan terhadap etnis Tionghoa. Dilansir dari sejarah.fkip.uns.ac.id, beberapa daerah di sekitar Yogyakarta, seperti Kota Gede, Kabupaten Bantul, dan Sleman (Prambanan), menjadi saksi dari aksi-aksi kekerasan yang ditujukan pada warga Tionghoa.
Ketegangan ini dipicu oleh ambivalensi keberpihakan politik etnis Tionghoa, yang sebagian besar berhubungan dengan Belanda. Selain itu, kesenjangan ekonomi yang ada antara etnis Tionghoa dan pribumi turut memperburuk keadaan. Kekerasan ini mengubah pandangan masyarakat Tionghoa terhadap pemerintah Republik Indonesia, yang selama itu mereka anggap sebagai pembela, namun pada kenyataannya tidak dapat melindungi mereka dari kekerasan yang terjadi.
4. Peristiwa Kekerasan di Makassar (1965 dan 1997)
Dilansir dari repository.unhas.ac.id, kota Makassar menjadi saksi dari dua tragedi besar yang menimpa etnis Tionghoa, masing-masing terjadi pada tahun 1965 dan 1997. Pada tahun 1965, setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S), ketegangan politik di Indonesia meningkat. Etnis Tionghoa yang kerap diasosiasikan dengan keberpihakan kepada komunis menjadi sasaran kemarahan.
Pada tahun 1997, situasi serupa terjadi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang parah. Krisis moneter ini dituduhkan oleh sebagian orang sebagai akibat dari pengaruh ekonomi yang kuat dari etnis Tionghoa. Kerusuhan tersebut mengarah pada serangan terhadap properti etnis Tionghoa, termasuk toko dan rumah, dengan kerusakan yang sangat parah. Beberapa orang juga menjadi korban kekerasan fisik dan psikologis, termasuk kekerasan seksual.
5. Kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Trisakti
Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu tragedi besar yang mengguncang Indonesia dan menggores sejarah kelam bagi bangsa ini. Berawal dari krisis moneter yang melanda Indonesia, ketegangan sosial meningkat dan menyebabkan kerusuhan di berbagai daerah. Kerusuhan ini memuncak pada tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, dan menargetkan etnis Tionghoa sebagai sasaran kebencian yang dipicu oleh sentimen anti-Tionghoa yang telah lama tertanam.
Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas dalam aksi demonstrasi yang awalnya damai. Kejadian ini memicu aksi protes lebih besar di Jakarta dan kota lainnya. Kerusuhan berlanjut dengan penjarahan dan pembakaran toko, rumah, dan pusat perbelanjaan milik etnis Tionghoa. Lebih dari 1.000 orang tewas dalam kerusuhan ini, dan lebih dari 80 wanita etnis Tionghoa dilaporkan menjadi korban kekerasan seksual.
Muhammad Rafi Azhari turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Peraturan yang Menggusur Tionghoa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini