Wacana Denda Damai bagi Koruptor, Komisi Kejaksaan: Harus Punya Landasan Hukum Kuat

5 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mewacanakan pengampunan koruptor. Dia mengatakan akan memaafkan para koruptor bila mengembalikan uang yang dicuri dari negara. Dia menyampaikan hal itu dalam pidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu, 18 Desember 2024.

Menanggapi wacana itu, Ketua Komisi Kejaksaan RI Pujiyono Suwadi menegaskan denda damai harus punya landasan hukum yang kuat. Dia menuturkan salah satu yang cukup akrab bagi publik adalah restorative justice atau keadilan restoratif. Dia menyebutkan keadilan restoratif adalah formula untuk mencari keadilan yang biasanya dilakukan dalam kejahatan tindak pidana umum. 

Pada webinar “Denda Damai untuk Koruptor, Apakah Bisa dan Layak?” yang digelar Jejaring Analiytics, Research, and Communication Consulting (Jarcomm) di Solo, Jawa Tengah, Kamis, 9 Januari 2025, Pujiyono mengatakan, bagi masyarakat, denda damai ini tidak menarik. Bahkan, bisa jadi, publik menolak gagasan tersebut karena merasa tidak familier. 

Pujiyono menganalogikan denda damai ini layaknya makan dengan menggunakan tangan kiri. “Kita biasa makan dengan tangan kanan, terus tiba-tiba lihat orang makan pakai tangan kiri. Tentu menyalahkan bahwa itu sesuatu yang tidak benar,” ujarnya seperti dikutip dari Antara.

Meski demikian, kata dia, pasti ada alasan mengapa orang tersebut makan dengan menggunakan tangan kiri, apakah karena tangan kanan menderita luka, cacat, atau mungkin masalah genetik.

“Logikanya pertama begitu. Analogi itu saya gunakan pada tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi sejak masa reformasi pada tahun 1999 sampai 2025, hasilnya jalan di tempat," kata dia.

Merujuk pada Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia, pada 2023 skor CPI Indonesia sama dengan 2024, yakni 34. “Artinya, perjuangan kita untuk pemberantasan korupsi masih jalan di tempat, tidak jalan ke arah yang positif,” tutur Pujiyono.

Karena itu, dia menilai penghukuman badan untuk tindak pidana korupsi tidak maksimal. “Maka, denda pengampunan sebagai cara untuk mengatasi stagnasi penanganan korupsi merupakan ide baik. Akan tetapi, kita tidak boleh terjebak pada denda saja. Jangan berhenti gagasannya. Ada terobosan lain,” kata dia.

Meski demikian, dia tidak ingin publik salah kaprah dalam menerjemahkan denda damai. “Denda damai bukan berarti koruptor langsung diminta bayar lantas kesalahannya dianggap selesai," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, pakar ekonomi Izza Mafruhah meminta agar konsep denda damai harus ada perinciannya. “Jangan sampai kebijakan ini menjadi masalah baru terjadi korupsi lain. Salah satu yang harus dipastikan adalah uang sitaan dari kejahatan koruptor harus jelas larinya ke negara,” kata Izza.

Dia mengatakan, di negara lain, ada denda pengampunan. Namun pengambilan harta yang dikorupsi harus maksimal. “Sejauh mana regulasi di Indonesia efektif? Dampak bagi perekonomian harus ada,” tuturnya.

Kejaksaan Agung: Denda Damai Tak Bisa Diterapkan terhadap Tindak Pidana Korupsi

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar menanggapi pernyataan Menteri Hukum soal upaya denda damai dalam rangka pengampunan koruptor. Harli menyatakan denda damai seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kejaksaan hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi.

Harli menjelaskan UU Kejaksaan memang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai. Hal itu tercantum dalam Pasal 35 Ayat 1 Huruf k UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Dia mengatakan denda damai itu tak bisa diterapkan terhadap tindak pidana korupsi karena memiliki acuan undang-undang yang berbeda.

“Denda damai yang dimaksud dalam pasal ini adalah untuk UU sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi, misalnya, tindak pidana kepabeanan, cukai dan lainnya. Sedangkan penyelesaian tipikor mengacu pada UU Tipikor, Pasal 2, 3 dan seterusnya,” kata Harli pada Kamis, 26 Desember 2024.

Denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung terhadap perkara tindak pidana ekonomi. Adapun pengertian Tindak Pidana Ekonomi tercantum pada Pasal 1 UU Nomor 7 Drt 1955. 

“Kalau dari aspek teknis yuridis, tipikor tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai yang dimaksud Pasal 35 (1) huruf k, kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” ujar Harli.

Dani Aswara dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Program 100 Hari Pertama: Pramono Anung-Rano Karno Janji Bereskan Persoalan Lahan

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online