TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menghargai persepsi kepuasan publik terhadap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang tinggi. Bima menganggap capaian ini mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Kabinet Merah Putih.
Bima merujuk pada hasil survei Litbang Kompas yang dirilis pada 20 Januari 2025. Sigi itu menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Prabowo dalam 100 hari pertama mencapai 80,9 persen secara keseluruhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Amanat Nasional ini secara khusus menyoroti bidang politik dan keamanan yang mendapat tingkat kepuasan tertinggi dibanding bidang lain sebesar 85 persen. Ia meyakini angka kepuasan di bidang politik dan keamanan ini tidak lepas dari suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang berlangsung aman dan kondusif.
"Kami memaknai ini sebagai apresiasi dari publik terhadap penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Karena dalam waktu 100 hari atau 3 bulan tentu hal yang paling mudah dicatat, diingat, dan dilihat oleh publik adalah rangkaian pilkada tadi," kata Bima dalam keterangan tertulis Kementerian Dalam Negeri pada Kamis, 30 Januari 2025.
Menurut Bima, keberhasilan pemilihan umum tidak hanya memastikan stabilitas politik, tetapi juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Oleh karena itu, Bima mendorong semua pihak untuk berkontribusi dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada dan evaluasi sistem keserentakan pemilu.
Pembahasan ini, kata Bima, akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk DPR, mahasiswa, dan tokoh masyarakat. "Kita akan berbicara tentang isu keserentakan, dampak keserentakan bagi kualitas atau partisipasi pemilih. Kita juga akan berdiskusi tentang bagaimana kita mengevaluasi koordinasi antara KPU, Bawaslu, dan semua instansi terkait," katanya.
Survei Litbang Kompas berbanding terbalik dengan penilaian sejumlah lembaga masyarakat sipil. Center of Economic and Law Studies (Celios) memberikan rapor merah terhadap kerja seratus hari pemerintahan Prabowo. Celios hanya memberi nilai 5 dari 10.
Studi Celios yang berbasis pada penilaian ahli ini dirilis pada Selasa, 21 Januari 2025. Responden dari riset Celios ini adalah jurnalis dari 44 media di Indonesia. Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyu Askar mengatakan nilai 5 untuk pencapaian program, kesesuaian kebijakan dan kebutuhan publik, kualitas kepemimpinan dan koordinasi, tata kelola anggaran, serta komunikasi kebijakan.
Kesimpulan Celios sejalan dengan penilaian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Amnesty International Indonesia. Lembaga ini menilai Prabowo tidak bisa membendung kemunduran demokrasi yang terjadi pada masa seratus hari pemerintahannya. YLBHI menyebutkan lima poin penting sebagai bukti terjadinya kemunduran demokrasi tersebut.
Pertama, proyek strategis nasional makin diintensifkan dengan memobilisasi militer di lapangan. Kedua, terjadi penggelembungan belanja dalam APBN akibat pembengkakan komposisi kabinet. Ketiga, pemerintah menempatkan orang-orang yang berlatar belakang militer di pos kementerian strategis untuk mengoptimalkan dominasi TNI dalam proyek strategis nasional.
Keempat, upaya memainkan hukum dalam menyikapi kenaikan pajak pertambahan nilai dan rencana pengampunan bagi para koruptor. Kelima, upaya sistematis untuk mengubur penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu melalui jalur yudisial.
Selanjutnya, Amnesty International Indonesia menilai kondisi HAM selama seratus hari pemerintahan Prabowo cenderung mengkhawatirkan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mencontohkan kemunduran di bidang HAM itu lewat pernyataan Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.
Sesaat setelah dilantik, Yusril mengatakan tidak ada pelanggaran HAM berat di Indonesia. Pernyataan tersebut seakan-akan menyangkal kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa 12 kasus masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu. “Ini awal yang buruk bagi kondisi HAM pada seratus hari pertama ataupun lima tahun ke depan,” ujar Usman, Jumat, 24 Januari 2025.