Wewenang Penyadapan KPK yang Terus Dirongrong

7 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka hasil sadapan percakapan telepon terkait kasus suap Harun Masiku dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025. Hasil penyadapan KPK tersebut mengungkapkan perbincangan udara antara eks kader PDIP, anggota Bawaslu, dan pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Perbincangan itu memperkuat dugaan adanya pengaruh kuat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam pengurusan kursi DPR untuk Harun. Dalam rekaman yang diputar di ruang sidang, terdengar suara Saeful Bahri, eks kader PDIP, berbicara dengan eks anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina. Hasto disebut sebagai pihak yang aktif mengatur langkah-langkah di balik layar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tadi Mas Hasto telepon lagi. Bilang ke Wahyu, ini garansi saya, perintah dari ibu dan garansi saya. Jadi bagaimana caranya supaya itu terjadi,” kata Saeful kepada Agustiani lewat sambungan telepon yang terjadi pada 6 Januari 2020.

Saeful menyebutkan bahwa Hasto memberikan arahan langsung untuk mengurus proses Pengganti Antar Waktu atau PAW untuk Nazarudin Kiemas, anggota DPR RI periode 2019-2024 dari PDIP yang meninggal dunia. Nazarudin mestinya digantikan Riezky Aprilia. Akan tetapi, Rapat Pleno PDIP memutuskan agar Harun Masiku yang dipilih sebagai pengganti.

Berbicara soal penyadapan, Undang-undang atau UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE telah mengatur secara tegas mengenai larangan penyadapan yang dilakukan selain untuk kepentingan penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan penegak hukum lainnya. Lantas apa dasar KPK leluasa melakukan penyadapan?

Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, dalam rangka pemberantasan korupsi, undang-undang memberi kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan. Kewenangan ini sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK. Bunyinya:

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”

Mekanisme penyadapan oleh KPK awalnya harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas atau Dewas KPK. Penyidik harus melampirkan syarat-syarat dalam permintaan penyadapan itu. Di antaranya surat perintah penyelidikan (sprinlidik), surat perintah penyidikan (sprindik), nomor telepon yang akan disadap, uraian singkat mengenai perkara, dan alasan penyadapan.

Aturan tersebut berubah setelah digugat oleh tim Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Fathul dkk menggugat pasal 12B, 37 B ayat 1 huruf B, dan pasal 47 ayat 2 UU KPK, yang mengatur tentang penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Mereka menilai izin dari Dewas yang bukan merupakan unsur penegak hukum tidak tepat.

Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengabulkan sebagian uji materi tersebut. Kini KPK tak perlu izin dari Dewas KPK untuk melaksanakan penyadapan. Lembaga antikorupsi itu cukup memberikan surat pemberitahuan kepada Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

Wewenang Penyadapan KPK Terus Dirongrong

Menurut Indonesia Corruption Watch atau ICW, dengan kewenangan penyadapan, KPK berhasil menjerat dan menangkap banyak koruptor melalui operasi tangkap tangan (OTT). Sejumlah politikus yang tertangkap tangan oleh KPK adalah, antara lain, Dewi Yasin Limpo, Adriansyah, Luthfi Hasan Ishaq, Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Abdul Hadi Jamal, dan Chairun Nissa.

Penyadapan KPK juga mengungkap adanya rekayasa hukum pada kasus kriminalisasi terhadap Bibit Samad dan Chandra Hamzah, pemimpin KPK periode kedua. Sayangnya, keberhasilan penyadapan oleh KPK ini tak hanya membuat gerah koruptor, tapi juga sebagian politikus di DPR. Kewenangan penyadapan selalu dipersoalkan dalam revisi UU KPK oleh wakil rakyat.

Dalam catatan ICW pada 2016, usaha sejumlah partai politik di DPR mengutak-atik kewenangan penyadapan oleh KPK telah dilakukan lewat usulan revisi UU KPK pada 2011. Bahkan sudah ada empat rancangan revisi yang beredar, yaitu naskah revisi UU KPK edisi 2012, edisi Oktober 2015, edisi Desember 2015, dan edisi Februari 2016.

Isu yang selalu muncul dari keempat draf revisi itu adalah ketentuan tentang penyadapan. Para pengusul revisi mempersoalkan mekanisme penyadapan di lingkup internal KPK yang dinilai tidak transparan dan akuntabel serta tanpa pengawasan. Alasan lainnya, wewenang penyadapan harus dikontrol untuk mencegah unsur pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang.

Belakangan isu lama itu kembali mencuat seiring Pembahasan RUU KUHAP. Beberapa pihak menilai bahwa ketentuan dalam rancangan ini dapat memengaruhi kewenangan lembaga penegak hukum, termasuk KPK, dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, termasuk wewenang penyadapan.

Dalam rancangan ini, penyadapan dan penggunaan data intelijen untuk kepentingan penyidikan tidak diakomodasi secara eksplisit. Hal ini memicu perdebatan, terutama karena KPK sebagai lembaga antirasuah menyatakan akan tetap berpegang pada asas lex spesialis, yakni mengikuti aturan internalnya sendiri terkait penyadapan, tanpa tunduk pada ketentuan baru dalam RUU KUHAP.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP akan dilakukan di Komisi III DPR RI. Habiburokhman juga menyatakan bahwa DPR terbuka terhadap berbagai masukan dari masyarakat dan lembaga terkait dalam proses pembahasan.

“Oh iya sudah pasti, pasti 100 persen pembahasan di Komisi III,” ujarnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 27 Maret 2025. “Kami ingin memastikan bahwa pembahasan ini berjalan dengan maksimal dan mempertimbangkan berbagai masukan,” katanya.

Mega Putri Mahadewi, Budiarti Utami Putri, Egi Adyatama, Sapto Yunus, dan Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online