Alasan Baleg DPR akan Menyusun RUU Pemilu dari Awal

3 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan penyusunan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pemilu akan dibahas dari awal dan bukan bersifat RUU operan (carry over) dari periode sebelumnya.

Dia mengatakan saat ini situasi politik dan materi yang akan dibahas sudah berbeda dibandingkan beberapa waktu lalu, karena ada sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD. “Tadi kita sepakat ini disusun dari awal lagi. Nah ini akan kita sampaikan ke pimpinan dan kemudian dibicarakan dengan pemerintah,” ujar Doli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 6 Februari 2025.

Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, pada beberapa waktu lalu, ada putusan MK soal ambang batas persyaratan pencalonan serta syarat usia. Selain itu, dia pun mengusulkan aturan tentang partai politik juga dibahas sekaligus dalam RUU tersebut. Maka dari itu, kata dia, RUU Pemilu diusulkan bersifat paket atau kodifikasi.

Namun, menurut dia, pembahasan RUU yang akan dilakukan dari awal itu tidak berarti wacana kepala daerah akan dipilih oleh DPRD akan langsung diterapkan. Sebab, kata dia, saat ini ada juga usul agar pemilu dilaksanakan secara asimetris. “Ada yang langsung, ada yang tidak langsung. Nah itu semua akan bisa terjadi kalau kita mulai dari kajian. Dan kajian itu kita mulai dari awal penyusunan rancangan undang-undang ini,” kata dia.

Menurut Doli, Baleg DPR juga sudah menerima surat dari pimpinan DPR untuk segera membahas RUU Pemilu, berdasarkan hasil dari rapat Badan Musyawarah DPR. Setelah disepakati RUU Pemilu dibahas dari awal, dia mengatakan penyusunan RUU tersebut akan dimulai dari penyusunan naskah akademik dan penyusunan draf.

Ketua Fraksi Golkar Ingin RUU Pemilu Dibahas dengan Omnibus Law

Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Sarmuji menanggapi saran sejumlah pakar kepemiluan supaya RUU Pemilu dibahas dengan metode kodifikasi, bukan omnibus law. Namun dia mengatakan pembahasan RUU Pemilu lebih baik menggunakan metode omnibus law karena bisa membuat semua hal mengenai pemilu lebih terintegrasi.  “Lebih terintegrasi segala hal terkait dengan pemilu baik berkenaan dengan peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pilpres, dan kalau perlu juga tentang pilkada,” kata Sarmuji saat dihubungi pada Selasa, 28 Januari 2025.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu menyebutkan, sejauh ini, belum ada perkembangan mengenai pembahasan RUU Pemilu di DPR. Namun dia menekankan RUU Pemilu sudah masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025. Sehingga, pembahasan RUU Pemilu segera dilakukan. “Kemungkinan di masa sidang ini sudah akan mulai pembahasan awal,” ujar Sarmuji.

DPR telah memulai masa persidangan di periode 2024-2025 pada Selasa, 21 Januari 2025. Pembukaan masa sidang kedua ini dilakukan usai legislator Senayan melakukan reses sejak 6 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025.

Setelah reses berakhir, masing-masing komisi bakal menggelar rapat bersama mitra kerjanya untuk membahas persoalan atau wacana. Salah satu yang akan dibahas DPR usai reses adalah wacana omnibus law politik.

Wakil Ketua DPR Adies Kadir sebelumnya mengatakan pembahasan wacana omnibus law politik kemungkinan akan dilakukan setelah dibukanya kembali masa persidangan DPR atau usai rampungnya masa reses. “Mungkin di tanggal 22 diadakan rapat pimpinan, insyaallah Rabu, setelah reses,” kata Adies di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jumat, 17 Januari 2025.

Dalam rencana agenda tersebut, para pimpinan fraksi partai akan melakukan persamuhan terlebih dahulu. Tujuannya membahas persoalan lain, tidak hanya mengenai omnibus law politik. Menurut Adies, pertemuan antara para pimpinan fraksi partai amat penting untuk mengkaji lebih dalam ihwal wacana tersebut.

Perludem Minta Pembahasan RUU Pemilu segera Dimulai

Adapun pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendorong RUU Pemilu segera dibahas dengan metode kodifikasi. Kodifikasi dilakukan untuk menghimpun aturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah yang sama, yaitu UU Pemilu. “Harus dengan kodifikasi. Kalau tidak dimulai, materi muatan tidak akan dibahas,” kata Titi dalam sebuah webinar pada Ahad, 26 Januari 2025.

Kodifikasi adalah upaya menghimpun berbagai peraturan menjadi undang-undang. Kodifikasi bisa dilakukan bila tema yang dibahas sama dan undang-undang yang aturannya sama. Titi mengatakan pembahasan RUU Pemilu penting untuk melakukan rekayasa konstitusional. Rekayasa itu untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. 

Menurut Titi, UU Pemilu dan Pilkada saat ini perlu segera dicabut, karena kedua aturan tersebut selama ini kerap tumpang tindih. Misalnya, dalam hal menangani politik uang. UU Pilkada mengatur pemberi dan penerima bisa ditindak pidana, sedangkan menurut UU pemilu hanya pemberi yang bisa ditindak pidana. “Di UU Pemilu, juga hanya bisa ditindak dalam tahapan kampanye, pemungutan suara, dan masa tenang. Padahal dalam UU Pilkada setiap tahapan bisa dijerat dengan politik uang,” kata Titi.

Hendrik Yaputra, Novali Panji Nugroho, Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Tanggapan terhadap Pemblokiran Anggaran Pembangunan IKN

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online