Alasan Dokter Kandungan di Korea Dilarang Beri Tahu Jenis Kelamin Bayi sebelum Kehamilan 32 Minggu

1 day ago 4

Jakarta -

Pada umumnya, mengungkapkan jenis kelamin janin kerap dilakukan oleh hampir seluruh Ibu hamil di belahan Dunia termasuk di Indonesia.

Bahkan hal tersebut menjadi salah satu momen paling seru saat cek kehamilan. Di Indonesia, mengetahui jenis kelamin janin sudah seperti tradisi. Bahkan, banyak Bunda yang langsung menyiapkan nama, warna baju, hingga tema kamar bayi berdasarkan hasil USG.

Namun ternyata, di Korea Selatan, hal ini dilarang keras, lho Bunda. Kenapa ya, Bunda? Yuk, kita bahas!

Larangan ungkap jenis kelamin janin di Korea

Korea Selatan adalah negara yang dikenal dengan nilai-nilai tradisionalnya, salah satunya soal keinginan memiliki anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga.

Budaya ini sempat memengaruhi keputusan orang tua saat mengetahui jenis kelamin janin. Akibatnya, dulu pernah ada ketidakseimbangan jumlah antara bayi laki-laki dan perempuan karena praktik aborsi selektif berdasarkan jenis kelamin.

Larangan ini muncul karena dulu, Korea Selatan sempat menghadapi masalah ketimpangan gender. Larangan tersebut diperkenalkan pada tahun 1987 ketika aborsi selektif jenis kelamin merajalela. Banyak keluarga lebih memilih anak laki-laki dibandingkan perempuan karena dianggap lebih 'berharga' secara tradisional, misalnya untuk mewarisi nama keluarga atau mendukung orang tua di masa tua.

Ketika ketentuan tersebut pertama kali diperkenalkan 30 tahun yang lalu, banyak anak perempuan, berdasarkan jenis kelamin mereka, kehilangan kesempatan hidup karena preferensi yang meluas terhadap anak laki-laki.

Dilansir dari Hankyoreh, rasio jenis kelamin alami adalah sekitar 104-106 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan, tetapi ketika rasio tersebut mencapai titik terburuknya pada 1990-an, 116,5 anak laki-laki lahir untuk setiap 100 anak perempuan.

Pada saat itu, rasio jenis kelamin untuk anak pertama adalah 108,5 sedangkan rasio jenis kelamin untuk anak kedua dan ketiga masing-masing adalah 117,1 dan 193,7, yang menandakan ketidakseimbangan yang parah.

Akibatnya, ada tren yang mengkhawatirkan yaitu aborsi selektif berdasarkan jenis kelamin. Dalam kepercayaan neo-Konfusianisme yang tersebar luas bahwa laki-laki meneruskan garis keturunan keluarga. Sehingga, ketika keluarga tahu janin adalah perempuan, mereka cenderung menggugurkannya untuk mencoba lagi sampai mendapatkan anak laki-laki.

Pemerintah Korea Selatan pun membuat kebijakan penting lainnya bagi orang tua dan calon orang tua yang dilakukan pada hari sebelumnya ketika Majelis Nasional mengesahkan revisi undang-undang medis yang melarang pengungkapan jenis kelamin janin.

Undang-undang tersebut membatasi hak dasar orang tua untuk mengetahui jenis kelamin anak mereka yang belum lahir sebelum minggu ke-32 kehamilan, dengan hanya keadaan yang sangat luar biasa berupa aborsi selektif jenis kelamin. Undang-undang tersebut mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi pada bulan Februari yang menyatakan larangan tersebut tidak konstitusional.

Penurunan angka kelahiran di Korea

Dilansir dari BBC, secara global, Korea Selatan menjadi negara terekstrem yang mengalami penurunan angka kelahiran dibandingkan dengan negara maju lainnya.

Dalam waktu 50 tahun, jumlah orang usia kerja akan berkurang setengahnya, jumlah yang memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer negara itu akan menyusut hingga 58 persen, dan hampir setengah dari populasi akan berusia lebih dari 65 tahun.

Hal ini menjadi pertanda buruk bagi ekonomi, dana pensiun, dan keamanan negara sehingga para politisi telah menyatakannya sebagai "darurat nasional". Selama hampir 20 tahun, pemerintah berturut-turut telah menggelontorkan uang untuk mengatasi masalah tersebut - tepatnya 379,8 triliun KRW ($286 miliar; £226 miliar).

Sementara itu, pada 2022, hanya 2 persen kelahiran di Korea Selatan terjadi di luar nikah. Bagi pasangan yang bekerja, baik laki-laki maupun perempuan di Korea Selatan,  berhak atas cuti selama satu tahun selama delapan tahun pertama kehidupan anak mereka. Namun pada tahun 2022, hanya 7 persen Ayah baru yang menggunakan sebagian cuti mereka, dibandingkan dengan 70 persen ibu baru.

Pemerintah Korea gratiskan operasi caesar

Awal tahun ini, pemerintah Korea Selatan memulai kebijakan baru dengan menggratiskan biaya persalinan caesar sebagai bagian dari upaya mengatasi krisis kelahiran rendah yang terus menjadi perhatian utama negara tersebut.

Dilansir dari The Korea Times, mulai 1 Januari, Layanan Asuransi Kesehatan Nasional akan menanggung sepenuhnya biaya tersebut. Pengumuman ini muncul karena semakin banyak perempuan melahirkan melalui operasi caesar. Menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, proporsi mereka yang menjalani prosedur tersebut melebihi 50 persen untuk pertama kalinya pada tahun 2019 dan terus bertambah sejak saat itu. Bahkan tahun lalu, mereka mencapai 64,3 persen, dibandingkan dengan 35,7 persen yang melahirkan anak melalui persalinan alami. 

“Keputusan ini dibuat setelah mengumpulkan pendapat dari orang-orang, banyak di antaranya meminta pemerintah untuk memperluas dukungan bagi semua pasangan yang ingin memiliki anak,” kata Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea selatan dalam keterangan tertulisnya.

Dalam kebijakan lain yang diumumkan pada rapat yang diadakan pada hari yang sama oleh Komite Presiden mengenai Kebijakan Masyarakat dan Populasi Lanjut Usia, para pejabat mengatakan mereka akan membantu bandara di seluruh negeri menciptakan lingkungan yang lebih ramah anak dengan memberikan lebih banyak manfaat parkir bagi orang tua dengan dua anak atau lebih dan dengan menyiapkan lebih banyak fasilitas dan layanan hiburan bagi mereka.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online