Apakah Jika Ibu Menyusui Sudah Membayar Fidyah Tetap Harus Mengganti Puasa?

4 hours ago 2

Jakarta -

Atas beberapa alasan, ibu menyusui sering kali tak bisa ikut berpuasa saat Ramadhan dan menggantinya dengan membayar fidyah. Apakah jika ibu menyusui sudah membayar fidyah tetap harus mengganti puasa?

Di antara orang yang diperbolehkan tidak berpuasa dan membayar fidyah, selain ibu hamil termasuk juga di antaranya ibu menyusui, Bunda. Namun, memang para ulama ada perbedaan pendapat dalam menyikapi kasus ibu hamil atau menyusui apakah membayar fidyah saja atau qadha dan fidyah.

Jumhur ulama dari empat madzhab sepakat bahwa ibu hamil dan/atau menyusui kemudian mereka tidak berpuasa, maka mereka tidak diwajibkan untuk membayar fidyah, yang wajib adalah mereka tetap harus mengqadhanya setelah selesai bulan Ramadhan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Kasus seperti ini berlaku bagi mereka yang ketika tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya saja ya, Bunda, misalnya karena khawatir lemas sehingga tidak kuat berpuasa karena sedang menyusui atau hamil. Hukum ini diqiyaskan kepada orang sakit yang masih ada potensi untuk sembuh.

Atau atas dirinya dan bayinya, maka secara umum jumhur ulama pun sepakat bahwa ibu yang kasusnya seperti itu, tidak diwajibkan membayar fidyah, tetapi wajib mengqadha puasanya di luar bulan Ramadhan.

Dasarnya adalah firman Allah SWT : “. . .Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.( QS. al-Baqarah : 184)

Nah, khilafiyah diantara ulama fiqih terlihat pada kasus ibu hamil atau menyusui kemudian tidak berpuasa karena khawatir terhadap bayinya saja.

Menurut madzhab Hanafi, perempuan yang seperti ini tidak wajib membayar fidyah, justru mereka tetap wajib menqadha puasanya.

“Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda : Sesungguhnya Allah menggugurkan bagi musafir setengah sholat dan puasa, begitu juga bagi ibu hamil dan menyusui.( HR. an-Nasaai).

Hal ini dijelaskan di dalam salah satu kitab rujukan madzhab Hanafi: 

“Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau pernah bersabda : Sesungguhnya Allah telah menggugurkan bagi musafir setengah sholat dan juga bagi ibu hamil, dan menyusui. Maka mereka wajib mengqadha dan bukan membayar fidyah menurut madzhab kami.”

Lalu menurut pendapat Maliki mereka memisahkan antara ibu hamil dan menyusui. Adapun perempuan hamil, maka dalam madzhab ini mereka harus mengqadhanya, tidak membayar fidyah. Sedangkan perempuan yang menyusui, mereka wajib melakukan dua-duanya, mengqadha dan membayar fidyah.

Al-Imam al-Qorofi (w.648 H) dalam kitabnya menjelaskan : “(hal yang membolehkan untuk tidak puasa) yang ketiga : Kekhawatiran ibu menyusui terhadap anaknya jika tidak mau menyusu dengan orang (wanita) lain, atau mau, tetapi tidak mampu untuk membayar upahnya, maka dia boleh berbuka dan membayar fidyah (dan qadha), dan yang keempat yakni khawatir atas kehamilannya, jika takut atas janinnya maka dia boleh berbuka, tidak wajib membayar fidyah, hanya mengqadha saja.”

Selanjutnya menurut madzhab Syafi’i, dalam madzhab ini yakni perempuan hamil atau menyusui wajib melakukan dua-duanya, qadha dan membayar fidyah. Hal ini persis yang dilakukan oleh perempuan hamil atau menyusui kemudian berbuka karena khawatir terhadap diri dan anaknya seperti dikutip dari laman Baznas.jogjakota.

“Jika (ibu hamil dan/atau menyusui) khawatir terhadap anaknya, bukan dirinya, maka mereka boleh berbuka dan mengqadhanya dengan pasti, sedangkan kewajiban membayar fidyah, pendapat-pendapat yang disebutkan penulis ini (paragraf sebelumnya) maka yang paling sahih menurut kesepakatan ulama kami adalah wajib.”

Begitu juga dalam pandangan madzhab Hambali, mereka sependapat dengan kalangan madzhab Syafi’i, dengan setiap ibu hamil atau menyusui jika berbuka karena khawatir terhadap anaknya, wajib bagi mereka mengqadha dan membayar fidyah.

“Masalah : Berkata (Ibnu Quddamah): Ibu hamil apabila khawatir terhadap janinnya, lalu ibu menyusui terhadap anaknya, maka boleh berbuka, dan wajib mengqadha serta membayar fidyah, sehari untuk satu orang miskin.

Tata cara membayar fidyah

Fidyah diambil dari kata 'fadaa' artinya mengganti atau menebus. Bagi beberapa orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa dengan kriteria tertentu, diperbolehkan tidak berpuasa serta tidak harus menggantinya di lain waktu. Namun, sebagai gantinya diwajibkan untuk membayar fidyah.

Ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa. Hal ini tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 184.

”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 184).

Adapun kriteria orang yang bisa membayar fidyah di antaranya:

1. Orang tua renta yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa
2. Orang sakit parah yang kecil kemungkinan sembuh
3. Ibu hamil atau menyusui yang jika berpuasa khawatir dengan kondisi diri atau bayinya (atas rekomendasi dokter).

Fidyah wajib dilakukan untuk mengganti ibadah puasa dengan membayar sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan untuk satu orang. Nantinya, makanan itu disumbangkan kepada orang miskin.

Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi'I, fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons = 675 gram = 0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa).

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum. (Jika 1 sha' setara 4 mud = sekitar 3 kg, maka 1/2 sha' berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasanya digunakan untuk orang yang membayar fidyah berupa beras.

Cara membayar fidyah ibu hamil bisa berupa makanan pokok. Misal, ia tidak puasa 30 hari, maka ia harus menyediakan fidyah 30 takar di mana masing-masing 1,5 kg. Fidyah boleh dibayarkan kepada 30 orang fakir miskin atau beberapa orang saja (misal 2 orang, berarti masing-masing dapat 15 takar).

Menurut kalangan Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku seperti 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversi menjadi rupiah seperti dikutip dari laman Baznas.

Cara membayar fidyah puasa dengan uang versi Hanafiyah adalah memberikan nominal uang yang sebanding dengan harga kurma atau anggur seberat 3,25 kilogram untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya mengikuti kelipatan puasanya.

Berdasarkan SK Ketua BAZNAS No. 07 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Ibukota DKI Jakarta Raya dan Sekitarnya, ditetapkan bahwa nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp60.000,-/hari/jiwa.

Semoga informasinya membantu ya, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online