Dosen Politik Unud Soal Revisi UU TNI: Mungkin Ada Agenda Terselubung

4 days ago 10

8000hoki Data Login situs Slot Maxwin Malaysia Terpercaya Gampang Win Full Non Stop

hoki kilat slot List Agen server Slot Gacor Malaysia Terbaru Gampang Lancar Scatter Setiap Hari

1000 Hoki Online Platform server Slot Gacor Vietnam Terbaik Pasti Lancar Jackpot Full Non Stop

5000hoki.com Data Daftar web Slot Gacor Vietnam Terpercaya Sering Lancar Menang Full Online

7000hoki Data Platform situs Slot Gacor Terkini Pasti Lancar Scatter Full Setiap Hari

9000 Hoki Online Data ID situs Slot Maxwin Terpercaya Pasti Lancar Scatter Full Online

Alternatif Akun Slots Gacor basis Terpercaya Pasti Lancar Win Setiap Hari

Idagent138 login Id Slot Game Terbaik

Luckygaming138 Daftar Akun Slot

Adugaming login Akun Slot Gacor Terbaik

kiss69 Slot Terpercaya

Agent188 Daftar Akun Slot Gacor Terbaik

Moto128 login Id Slot Anti Rungkad Online

Betplay138 login Slot Gacor Online

Letsbet77 login Id Slot

Portbet88 Akun Slot Maxwin Terbaik

Jfgaming168 Id Slot Anti Rungkad

Mg138 Slot

Adagaming168 login Id Slot Game Terbaik

Kingbet189 Akun Slot Terbaik

Summer138 Id Slot Anti Rungkad Online

Evorabid77 login Slot Anti Rungkat Online

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte, mengatakan bahwa pengesahan Revisi UU TNI bisa jadi bermakna Preisiden Prabowo Subianto memiliki agenda terselubung.

Sebelumnya, DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang atas perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Palu pengesahan itu diketuk Ketua DPR RI Puan Maharani seiring persetujuan seluruh fraksi dalam Sidang Paripurna ke-15 pada Kamis, 20 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengesahan revisi UU TNI dilakukan meski menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa hingga masyarakat sipil. Adapun, kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim partisipasi publik. Mereka juga khawatir tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta TNI tetap di barak.

Dalam diskusi Teras FISIP Universitas Udayana dengan tajuk Menguak Pengesahan RUU TNI: Apa yang Perlu Diketahui Masyarakat? Efatha menyoroti ihwal proses pembahasan revisi UU TNI yang tidak transparan.

Hal ini, kata dia, dikarenakan dalam proses pengambilan kebijakan biasanya akan melibatkan praktik-praktik yang tidak transparan sebab disusupi banyak kepentingan. 

“Dalam politik Anda memberikan apa, Anda akan dapat apa. Nah ini dia, proses-proses pengambilan kebijakan dan lain sebagainya, itu akan melibatkan praktik-praktik yang tidak transparan, itu karena ada kepentingan-kepentingan yang terlalu banyak masuk,” kata Efatha pada Selasa, 15 Maret 2025.

Melihat situasi belakangan ini, di mana militer telah mengisi sejumlah jabatan-jabatan sipil, Efatha menyebut UU ini sebenarnya hanya mengakomodasi proses yang sebenarnya telah terjadi “Undang-undang ini sebenarnya adalah keterlambatan terhadap proses yang sudah terjadi,” kata dia.

Lebih lanjut, Efatha menyebut, memang ada beberapa poin yang perlu diperjelas, termasuk  motif-motif pemerintah yang hanya dapat diketahui publik apabila proses politik dilakukan secara transparan. “Ada satu poin yang memang perlu kita perjelas, yaitu sebenarnya apa sih yang mau dibawa dan apa sih yang sebenarnya sudah berubah, hanya dengan transparansi itu kita akhirnya bisa mengetahui dengan jelas,” ujar Efatha. 

Adapun, proses politik yang berlangsung saat ini, kata Efatha, menunjukan pemerintah memiliki tujuan dan visi lain. “Kalau saya melihat bahwa sebenarnya pemerintah ini memiliki tujuan dan visi yang lain, pengerahan militer dalam institusi sipil ini, bisa bermakna bahwa Pak Prabowo mungkin ada agenda terselubung yang nanti ke depannya akan kita lihat bersama, mungkin saja berkaitan dengan masalah bersih-bersih korupsi, bisa saja terkait masalah pembagian jabatan untuk menciptakan stabilitas,” kata dia.

Kemudian, menyoal proses pembahasan undang-undang yang berlangsung tertutup, Dosen Ilmu Politik Unud ini menyebut DPR seharusnya bersikap terbuka dan transparan, alih-alih menciptakan riak-riak politik. “DPR harusnya berani terbuka saja, tidak menciptakan riak-riak politik yang sama seperti ini, karena bagaimanapun publik saat ini juga melihat situasi politik nasional tidak dalam kondisi yang clear,” ujarnya.

Efatha juga menanggapi pernyataan nyeleneh Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi ihwal teror kepala babi yang dikirim ke Kantor Tempo. Kata dia, sikap itu justru menunjukkan komunikasi politik yang buruk dari pemerintah dalam menghadapi ancaman terhadap demokrasi.

“Pemerintah kali ini tidak begitu memahami cara untuk menenangkan masalah, mereka menciptakan masalah baru karena komunikasi yang buruk,” kata dia.

Dia berpandangan, pemerintah mestinya memastikan perlindungan terhadap jurnalis melalui penegakan hukum yang tegas. “Minimal mereka bisa memberikan jawaban, dan memastikan hukum berada diposisi yang paling tepat, kita ini adalah negara hukum harusnya pemerintah juga membantu agar independensi jurnalisme itu tetap ada,” ujarnya. 

Adapun melihat gelombang aksi yang timbul di daerah-daerah, Efatha mewanti-wanti jika pemerintah tidak segera mengevaluasi proses produksi kebijakan-kebijakannya, masyarakat bukannya tidak mungkin akan bertindak lebih keras.

“Kalau pemerintah tidak segera menindak tegas atau pemerintah tidak segera mengevaluasi otomatis masyarakat sendiri yang akhirnya mengambil palu keadilan, dan mungkin akan mengetok pemerintah dengan sangat keras. Karena bentuk protes yang terjadi hari ini sudah bukan bentuk  protes biasa lagi, karena ini sudah sampai di tingkatan bahwa ketidakpercayaan itu menjelma dalam seluruh proses dan tindakan pemerintah,” ujar dia.

Di sisi lain, Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana atau BEM Unud, I Ketut Indra Adiyasa, merinci sejumlah alasan mengapa RUU TNI ini perlu ditolak mulai dari karena minimnya partisipasi publik, proses pembahasan yang tertutup, hingga dinilai mengancam demokrasi dan supremasi sipil.

“Undang-Undang TNI yang sudah disahkan tersebut mengancam demokrasi dan supremasi sipil, yang pertama berpotensi melakukan pelanggaran HAM, yang kedua intervensi politik oleh miiter, yang ketiga militerisasi sipil,” ujar Indra pada Selasa, 25 Maret 2025. 

Selain itu, dia juga menyebut pengesahan RUU TNI ini mengancam sistem meritokrasi di tubuh pemerintahan.  “Pengesahan UU TNI ini turut mengancam meritokrasi, saya di sini membedah menjadi tiga kualifikasinya pertama ada pengabagian terhadap prinsip kualifikasi dan kompetensi, yang kedua ancaman terhadap netralitas birokarsi, yang ketiga pengerdilan peran ASN dan profesionalisme aparatur sipil negara,” kata dia. 

Andi Adam Faturahman dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam tulisan ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online