Harap Cemas Biaya Pilkada Ulang di Tengah Pemangkasan Anggaran, Ketua Bawaslu: Demokrasi Itu Mahal

4 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta- Ketua Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Rahmat Bagja angkat bicara soal pemangkasan anggaran di lembaga yang ia pimpin. Bagja bercerita, anggaran Bawaslu dipangkas hingga hampir 50 persen dari anggaran semula. Dirinya khawatir, pemangkasan anggaran ini dapat mempengaruhi kerja-kerja Bawaslu nantinya.

“Anggaran Bawaslu diblokir hampir 50 persen. Sehingga Bawaslu tidak memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan pengawasan PSU (pemungutan suara ulang),” tutur Bagja dalam rapat bersama Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan pada Kamis, 27 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggaran Bawaslu yang semula berjumlah Rp 2,4 triliun dipangkas Rp 955 miliar hingga hanya tersisa sekitar Rp 1,4 triliun. “Sekarang (sisa anggaran) Rp 1,4 triliun, dipotong hampir Rp 1 triliun. Alhamdulliah,” ucap Bagja ketika ditemui Tempo di ruangan kerjanya di Gedung Bawaslu di sore hari sehabis menghadiri rapat di DPR tersebut.

Bawaslu masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengawasi pelaksanaan PSU di 24 daerah seperti sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Bawaslu hanya memiliki sisa anggaran sisa Rp 35,8 miliar untuk mengawasi PSU, sedangkan perkiraan dana yang dibutuhkan mencapai Rp, 251,9 miliar.

Dalam wawancara bersama Tempo, Bagja bercerita bahwa Bawaslu sudah dan akan melakukan beberapa strategi untuk dapat menindaklanjuti kebijakan pemangkasan anggaran Presiden Prabowo tersebut. Beberapa di antaranya adalah penerapan kerja dari mana saja atau work from anywhere.

Namun, Bagja berpendapat sebagai lembaga penyelenggara pemilu, sudah pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menjalankan tugasnya. Ia menuturkan, ada banyak hal yang mesti dilakukan oleh Bawaslu berkaitan dengan penyelenggaraan pesta politik tersebut. Mulai dari pre-election, election day, hingga post election.

“Jangan sampai teman-teman di DPR beranggapan bahwa election itu hanya satu hari. Enggak, election itu (prosesnya) 20 bulan minimal atau 30 bulan. Bukan cuma pencoblosan,” kata Bagja kembali.

Bagja menegaskan, biaya atau ongkos yang mesti dibayar sebuah negara bila ingin menerapkan sistem demokrasi sudah barang tentu akan mahal harganya. Bila efisiensi betul-betul ingin dilakukan secara habis-habisan, maka Indonesia bisa saja meninggalkan prinsip demokrasi tersebut dalam bernegara.

“Demokrasi, election itu pasti ada biaya, dan tidak murah. Demokrasi itu mahal,” ujarnya seraya menolehkan pandangannya ke arah reporter Tempo.

Hammam Izzuddin ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online