.png)
TEMPO.CO, Jakarta -- Jemaah Tarekat Naqsabandiyah di Padang telah memulai puasa pertama bulan Ramadan pada Kamis, 27 Februari 2025.
Hal itu lebih awal dibanding dengan apa yang diputuskan pemerintah pada Jumat, 28 Februari 2025 lewat sidang isbat di Auditorium Haji Mohammad Rasjidi Kementerian Agama RI, Jakarta Pusat. Apakah tarekat itu sebenarnya?
Dikutip dari laman Universitas Islam An-Nur Lampung, secara terminologi Islam, Tarekat berasal dari bahasa Arab ‘thariqah’ yang berarti jalan, metode, atau cara. Adapun secara terminologis, tarekat merujuk pada jalan spritiual yang ditempuh seseorang untuk
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarekat pada hakikatnya bukanlah suatu yang terpisah dari syariat karena tarikat adalah perwujudan dari syariat itu sendiri. Salah satu cendekiawan muslim asal Aceh, Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Pengantar Tarekat menuliskan jika tarekat menjadi bagian penting dalam pelaksanaan tasawuf.
Memahami tasawuf tanpa mengetahui dan menjalankan tarekat dianggap sia-sia. Dalam ajaran tasawuf dijelaskan bahwa syariat hanyalah aturan, sedangkan tarekat adalah tindakan untuk mengamalkan syariat tersebut.
Jika seseorang telah menguasai syariat dan tarekat, maka ia akan mencapai hakikat, yaitu perbaikan diri dan keadaan spiritual. Pada akhirnya, tujuan tertinggi dari tasawuf adalah makrifat, yaitu mengenal dan mencintai Tuhan dengan sepenuh hati.
Sejarah Kemunculan Tarekat di Nusantara
Dilansir dari jurnal berjudul Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Nusantara yang ditulis oleh Awaluddin pada 2016 menjelaskan bahwa masuknya tarekat di Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam. Beberapa sejarawan Barat berpendapat bahwa Islam yang bercorak sufistik menjadi faktor utama yang menarik perhatian penduduk Nusantara, yang sebelumnya beragama Hindu dan Budha.
Tradisi dari kedua agama asal India tersebut memiliki unsur metafisik dan spiritualitas yang dianggap lebih selaras dengan ajaran tarekat yang diperkenalkan oleh para wali. Akibatnya, proses penyebaran Islam di Nusantara berlangsung secara damai tanpa banyak pertumpahan darah. Hal ini berbeda dengan proses Islamisasi di India, yang terjadi melalui penaklukan, tekanan, dan bahkan, menurut beberapa sumber, pemaksaan dengan kekuatan senjata.
Pengaruh besar tarekat dalam proses islamisasi didukung oleh temuan sejarah yang menunjukkan bahwa Islam sebenarnya telah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 dan mulai dikenal di Jawa pada abad ke-11 M. Namun, pada periode tersebut, keberadaan Islam belum memberikan dampak yang signifikan dalam mengubah keyakinan masyarakat Nusantara.
Saat itu, Islam masih terbatas pada komunitas kecil yang terdiri dari para pendatang di beberapa kota pesisir Jawa, seperti Leran (Gresik), Idramayu, dan Semarang.
Proses penyebaran Islam secara luas di Nusantara baru terjadi pada akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15, bertepatan dengan masa kejayaan perkembangan tasawuf berbasis akhlak, yang ditandai dengan munculnya berbagai aliran tarekat di kawasan Timur Tengah. Periode ini berawal dari pemikiran Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali yang merumuskan tasawuf moderat dengan menyeimbangkan aspek akhlak, syariat, dan filsafat.
Pemikiran ini akhirnya diterima oleh para ulama fukaha, meskipun sebelumnya mereka menolak tasawuf berbasis filsafat karena dianggap kontroversial.
Kemudian, perkembangan tarekat tersebut dilanjutkan dengan munculnya berbagai pusat pengajaran ilmu tasawuf yang dipimpin oleh para sufi, seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Syekh Najmudin Kubro, Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili, Ahmad Arfa’iyyah, Syekh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandy, dan Syekh Abdullah Asy-Syatthari.
Tarekat yang dikembangkan oleh para sufi tersebutlah yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Nusantara.
Eka Yudha Saputra ikut berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan editor: BMKG: Hari Pertama Puasa Sebagian Jabodetabek Hanya Berawan Tak Hujan
