TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mengungkapkan diperlukan adanya penambahan anggaran dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) apabila pengerahan petugas BPOM perlu dilakukan. Oleh karena itu, Taruna mengatakan masih menunggu adanya perjanjian tertulis berupa penekenan nota kesepahaman atau MoU (Memorandum of Understanding) sebelum terlibat secara formal dalam program MBG.
"BPOM sudah dilibatkan, tetapi belum dalam hitam di atas putih," kata dia saat ditemui di BPOM pada Jumat, 17 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Taruna tersebut sebagai respons dari kasus keracunan yang menimpa 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo di Jawa Tengah usai menyantap menu MBG pada Kamis, 16 Januari 2025. Sebanyak 10 di antaranya diketahui mengalami mual dan segera dirawat petugas yang berada di lapangan.
Dalam konteks ini, BPOM diperlukan untuk memastikan adanya pengawasan berlapis terkait kualitas makanan yang akan disajikan MBG sebelum dikonsumsi masyarakat dalam jumlah besar. Hal ini demi mencegah insiden tersebut terulang kembali.
Menurut Taruna, jika BPOM harus mengerahkan petugas untuk mendukung program MBG, hal itu akan melibatkan penggunaan anggaran negara. Sehingga, kata dia, memerlukan kejelasan melalui regulasi, surat tugas, atau MoU sebagai dasar pelaksanaannya.
"Jangan pernah melakukan yang tidak diperintah. Apa artinya? Segala sesuatu penggunaan anggaran negara harus ada perintahnya," ujar dia.
Sementara, polemik terkait pendanaan program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu masih menjadi bola panas yang bergulir di masyarakat hingga hari ini. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Bachtiar Najamudin menyatakan pemerintah perlu mencari alternatif pembiayaan program Makan Bergizi Gratis. Sebab, dana yang digelontorkan negara sebesar Rp 71 triliun belum menutupi total anggaran yang dibutuhkan untuk MBG.
Sultan mengusulkan agar program MBG dibiayai melalui zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Dia juga mengusulkan agar pengembalian dana para koruptor yang banyak disimpan di luar negeri bisa dijadikan salah satu mekanisme pembiayaan program tersebut.
“Saya kira presiden dengan kekuasaannya (bisa) disebut sebagai Robin Hood bagi masyarakat kecil,” kata Sultan dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 16 Januari 2025.
Vedro Imanuel Girsang, Hammam Izzuddin, dan Sapto Yunus berkontribusi dalam penulisan artikel ini.