TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Sosial Saifullah Yusuf menanggapi desakan masyarakat sipil yang menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto. Menurut dia, dalam proses diskusi nanti semua kritik dan saran dari semua pihak akan dipertimbangkan oleh tim penilai.
"Semua kami dengar. Usulan dari masyarakat juga kami ikuti, normatifnya juga kami lalui," ujar Saifullah saat ditemui usai acara Halalbihalal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta pada Ahad, 20 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria yang karib disapa Gus Ipul itu menjelaskan, pemberian gelar pahlawan tersebut diajukan kepada Kementerian Sosial oleh Pemerintah Provinsi atas usulan dari Bupati atau Walikota setempat. Saat ini, kata dia, Kemensos melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial tengah membentuk tim penilai.
Nantinya, Saifullah menambahkan, tim tersebut akan terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari akademisi, sejarawan, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat. "Nah, setelah itu nanti saya akan mendiskusikan, memfinalisasi, kami tanda tangani, langsung kami kirim ke Dewan Gelar," kata dia menjelaskan tahapan yang tersisa dari proses penyematan gelar pahlawan nasional pada Soeharto dan kandidat lainnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Mira Riyati Kurniasih mengatakan timnya bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) tengah mengkaji 10 nama yang direkomendasikan untuk diberi gelar pahlawan nasional, termasuk dua mantan presiden, Soeharto yang diusulkan dari Jawa Tengah dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari Jawa Timur.
“Untuk tahun 2025, sampai saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh,” kata Mira, dikutip dari keterangan tertulis pada Selasa, 18 Maret 2025.
Di sisi lain, hingga 16 April 2025 pukul 11.00 WIB, petisi berjudul “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto!” sudah ditandatngani oleh 3.479 orang di situs web Change.org.
Petisi yang diinisiasi oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto atau Gemas itu juga mengungkap dugaan keterlibatan Soeharto selama berkuasa berdasarkan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM menemukan bahwa terdapat sembilan kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto, yakni Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Tanjung Priok (1984); Peristiwa Talangsari (1989); Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998); Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Adapun pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang merupakan Indonesia. Ia yang menerima gelar pahlawan nasional harus telah gugur atau meninggal demi membela negara, atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan maupun menghasilkan “prestasi dan karya yang luar biasa” bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia.
Untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seseorang harus memenuhi beberapa syarat umum dan syarat khusus. Beberapa di antaranya yakni memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia, serta tidak mengkhianati bangsa dan negara.
Dian Rahma Fika dan Eka Yudha berkontribusi dalam penulisan artikel ini