TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK I Dewa Gede Palguna, mengatakan tata tertib atau tatib DPR tidak bisa mengikat ke luar lembaga.
“Itu kan mengikatnya ke dalam. Misalnya, kapan putusan bisa diambil, bagaimana tata cara memilih ketua dan wakil ketua. Kalau anggota ada yang melanggar, bagaimana tata cara penjatuhan sanksinya,” kata Palguna saat dihubungi Tempo, 6 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Palguna menepis argumen bahwa tatib DPR sebagai fungsi pengawasan legislatif. Ia mengatakan konsep checks and balances dilakukan bukan melalui tatib, melainkan lewat undang-undang dan penganggaran.
“Memang tidak logis dan tidak boleh. Masa ada pemberhentian hakim konstitusi karena rekomendasi dari DPR? Dari mana ceritanya itu?” ujar Palguna.
DPR RI, kata dia, tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan check and balances dengan mengesahkan tatib DPR yang bisa mencopot kepala lembaga. Mantan Hakim Konstitusi ini mempertanyakan bagaimana bisa tata tertib mengikat keluar lembaga.
“Masa DPR tidak mengerti teori hierarkhi dan kekuatan mengikat norma hukum?” katanya.
Palguna menegaskan, apabila DPR tetap memaksakan tatib untuk mencopot kepala lembaga, artinya DPR tidak mau negeri ini tegak di atas Undang-Undang Dasar 1945.
“Tetapi di atas hukum yang mereka suka dan mau dan untuk mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini!” kata Palguna.
Sebelumnya, DPR mengesahkan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib dalam rapat paripurna di gedung parlemen, Jakarta Pusat pada Selasa, 4 Februari 2025.
Revisi diajukan oleh Badan Legislasi atau Baleg DPR dengan penambahan Pasal 228A di antara Pasal 228 dan Pasal 229 di dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020.
Pasal 228A ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.”
Kemudian ayat (2) dari Pasal 228A berbunyi, “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR RI untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Beberapa pejabat negara yang harus melewati uji kelayakan dan ditetapkan dalam rapat paripurna di DPR termasuk calon hakim Mahkamah Konstitusional (MK) dan Mahkamah Agung (MA), calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini