Kilas Balik Pemakaman Soeharto 17 Tahun Silam, Majalah Tempo Menulis: Selesai Sudah

1 day ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Kabar duka itu datang pada Ahad siang, 27 Januari 2008. Sekitar pukul 13.10 WIB, Presiden ke-2 RI Soeharto dinyatakan meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan. Kepala negara Indonesia dengan masa jabatan terlama itu sempat dirawat selama 23 hari sebelum akhirnya wafat.

“Innalillahi Wainalilahi Rojiun, telah wafat dengan tenang Bapak Haji Muhammad Soeharto pada hari Minggu 27 Januari 2008, pukul 13.10 WIB di RSPP Jakarta,” ujar Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto, putri sulung Soeharto, saat mengumumkan meninggalnya sang ayah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak lama berselang, sekitar pukul 14.35 WIB, jenazah Sang Jenderal Tersenyum kemudian diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana, ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa mendiang Soeharto.

Keesokan harinya, Senin, 28 Januari 2008, jenazah Soeharto diberangkatkan dari rumah duka sekitar pukul 07.30 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma untuk diterbangkan ke Solo, Jawa Tengah, pukul 10.00 WIB. Pak Harto, demikian iya disebut, kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar.

Majalah Tempo dalam edisi khusus Soeharto yang terbit pada Februari 2008 menceritakan bagaimana suasana pemakaman tokoh Orde Baru itu. Jenazah Soeharto tiba di lokasi sebelum pukul 12.00 WIB. Sejumlah petinggi negara yang tadinya asyik bersenda-gurau tiba-tiba terdiam. Suasana menjadi senyap.

Jenazah Soeharto diusung masuk ke pemakaman Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Setelah diletakkan, peti dibuka. Tidak cuma dilapisi kain kafan, jenazah itu juga diselimuti kain tebal warna putih. Suwardi, pengurus pemakaman Desa Karang Bangun, cukup kesulitan membuka kain itu, pada saat jenazah hendak dimasukkan ke liang lahat. Membuka kain itu saja memerlukan waktu sekitar tiga menit.

Keluarga memutuskan Soeharto dikubur bersama peti yang dikalungi untaian melati. Tapi tubuhnya diganjal tanah. Dimiringkan ke arah kiblat. Enam pengurus makam berpakaian surjan perlahan memasukkan jenazah diiringi jeritan trompet militer. Setelah itu, jasad dihujani kembang aneka rupa. Ditutup tanah. Sebiji kelapa yang sudah dibelah tengkurap di atas kubur.

“Menghabiskan usia 87 tahun-32 tahun di antaranya memerintah dengan penuh kontroversi-Soeharto selesai sudah,” tulis majalah Tempo.

Di perhentian terakhir itu, jasad Soeharto dimakamkan di antara sang istri, Siti Hartinah, yang wafat pada 28 April 1996, dan sang mertua, KRA Soemoharjono. Liang lahat itu sudah digali beberapa tahun lalu tapi selama ini hanya ditimbuni pasir. Dindingnya kukuh. Dilapisi beton marmer kasar.

Makam Astana Giribangun itu didirikan pada 1974 oleh yayasan Mangadeg yang dipimpin Siti Hartinah. Cara membangunnya cukup unik. Sebuah bukit setinggi 17 meter dipotong, lalu di atasnya dibangun kompleks pemakaman setinggi bukit itu. Arsitek pemakaman itu adalah Ali Surono, seorang dosen di Universitas Gadjah Mada. Astana artinya makam. Giri artinya gunung.

“Jadi, Giribangun artinya gunung yang dibangun,” kata Sukirno, juru kunci pemakaman.

Pada sesi pemakaman itu, semua mata tertuju ke sana. Jumlah pelayat sekitar 20 ribu orang. Mereka berjubel hingga pertigaan Matesih, empat kilometer dari Astana. Lima ratus juru warta, dalam dan luar negeri, bersesakan meliput jalannya prosesi pemakaman. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan secara langsung.

Jalan macet total. Banyak pelayat yang lewat jalan tikus. Sejumlah menteri malah terjebak di pertigaan Matesih. Mereka terlihat cemas karena rombongan jenazah sudah bergerak dari Bandara Adisoemarmo. Takut terlambat, sejumlah menteri pun melompat dari mobil lalu meminta polisi mencarikan ojek.

Seorang tukang ojek bernama Parno mengaku kebagian mengangkut seorang menteri wanita. Saat itu, katanya, dia cuma mau menonton rombongan jenazah. Tiba-tiba ia dipanggil polisi untuk mengantar Ibu Menteri. Parno agak grogi karena jalan menuju pemakaman sudah dipenuhi polisi dan tentara. Tapi si penumpang memberikan jaminan.

“Kalau dicegat, bilang saja mau mengantar Ibu Menteri,” tutur Parno kepada Tempo.

Begitu turun, Parno diberi ongkos Rp 50 ribu. Dia gembira karena biasanya sewa ojek cuma lima ribu perak. Tapi yang kebagian mengantar hanya asing lebih gembira daripada Parno. “Saya dan teman saya dapat Rp 100 ribu,” kata Warto, tukang ojek yang mengangkut seorang tambun berkulit putih.

Petinggi lain yang menggunakan jasa ojek adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita. Banyak pula yang berjalan kaki. Ali Alatas, Menteri Luar Negeri zaman Soeharto, terlihat berjalan kaki 300 meter. Karena letih, dia dipapah ajudan.

Area pelataran makam itu tidak mampu menampung semua pejabat yang datang. Di sana hanya terlihat keluarga Soeharto, keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wakil Presiden Jusuf Kalla, orang dekat Cendana, dan petugas pemakaman. Sedangkan para menteri, mantan pejabat, dan para pengusaha kondang duduk di luar pelataran.

Di sana terlihat pula pengusaha Prajogo Pangestu dan Tito Sulistyo, Mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, juga mantan Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita. Walau terlihat lelah, semuanya takzim mengikuti prosesi pemakaman yang ditayangkan lewat layar monitor. Mereka baru masuk melihat makam itu setelah prosesi selesai.

Mantan ajudan Soeharto, Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, memilih berdiri di luar kompleks makam. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan ini mengenakan pakaian militer. Entah kenapa jenderal bintang tiga ini tak masuk kawasan makam. Padahal sejumlah jenderal bintang dua hilir-mudik ke sana. Ada Pangdam Jaya Mayor Jenderal Suryo Prabowo dan Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Darpito Pudyastungkoro.

Selain pejabat dalam negeri, sejumlah pejabat dari luar negeri juga menghadiri acara pemakaman itu. Ada Presiden Timor Leste Xanana Gusmao, Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, dan perwakilan sejumlah negara.

Dipimpin Presiden SBY, upacara pemakaman berlangsung khidmat. Pidato SBY di pemakaman itu sangat ditunggu orang ramai. Sebab, Soeharto pergi meninggalkan setumpuk kasus, mulai dari kasus pidana korupsi, perkara tujuh yayasan yang diduga merugikan negara Rp 1,7 triliun, hingga kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Gerilya pengikut Soeharto guna menutup sejumlah perkara itu juga sudah marak sejak dia terkulai di Rumah Sakit Pusat Pertamina, 4 Januari 2008. Banyak yang mendesak agar pemerintah Yudhoyono memaafkan penguasa Orde Baru itu. Tuntutan mereka kian nyaring setelah Soeharto wafat 24 hari kemudian, Minggu dua pekan lalu.

Tapi yang menuntut agar Soeharto segera diadili juga banyak. Sejumlah kelompok berunjuk rasa di RSPP, tempat Soeharto dirawat. Mereka berdoa agar kakek 87 tahun itu lekas sembuh, “Biar bisa diadili.”

Dua pekan sebelumnya, sebuah kelompok anak muda malah menjaring pendapat anak gaul yang lalu-lalang di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Hasilnya, lebih dari seribu orang menandatangani spanduk yang menuntut pemerintah, “Segera mengadili Soeharto.”

Di Astana Giribangun, Yudhoyono memilih menjauh dari polemik ini. Soeharto, katanya, “Manusia biasa. Almarhum tidak luput dari kekurangan.” Berpidato sekitar sepuluh menit, dia sama sekali tidak menyinggung soal kasus Soeharto.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online