Jakarta -
Kisah seorang ibu hamil (bumil) yang terpaksa mempertahankan kehamilan meskipun janin di dalam kandungannya sudah tidak memiliki detak jantung, kembali menyita perhatian publik. Ini adalah kisah bumil bernama Elisabeth Weber asal Greenville, Carolina Selatan.
Elisabeth Weber mengaku baru mengetahui bahwa janinnya tidak berkembang dan detak jantungnya berhenti saat usia kandungannya masuk 9 minggu.
"Bayinya berhenti tumbuh pada usia 6 minggu 1 hari," ujar Elisabeth Weber dikutip dari laman People.
Elisabeth mengatakan dia dan suaminya Thomas sangat menanti kelahiran calon putra kelima mereka yang diberi nama Lorenzo Thomas Weber atau yang dipanggil Enzo. Sebelumnya perempuan 31 tahun ini telah memiliki tiga anak perempuan Neveah (8 tahun), Story (5 tahun), dan Finley (18 bulan), serta seorang putra bernama Stone yang meninggal karena Sindrom Kematian Bayi Mendadak (SIDS) pada tahun 2018.
"Anak yang sangat diharapkan. Kami sebenarnya selalu merasa bahwa dia laki-laki. Kami menamainya Lorenzo Thomas Weber, dipanggil Enzo," tutur Elisabeth Weber.
Namun Elisabeth mengaku ditolak mendapatkan bantuan medis saat janinnya tidak berkembang dan detak jantungnya berneti karena dianggap tidak mengalami keguguran secara alami. Elisabeth Weber bahkan harus menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan bantuan medis karena undang-undang anti aborsi yang ketat di negara bagian tersebut.
Elisabeth dipulangkan untuk mengalami keguguran secara alami, namun Elisabeth yang mengalami sakit parah hiperemesis gravidarum (HG) di semua kehamilannya mengatakan bahwa ia tetap merasakan semua gejala kehamilan meskipun detak jantung Enzo sudah tidak ada.
"Tubuh saya tidak menyadari bahwa saya sudah tidak hamil lagi. Saya masih benar-benar terbaring di tempat tidur karena mual, muntah terus-menerus. Janinnya sama sekali tidak tumbuh. Masih tidak ada detak jantung. Saat itu, usia kehamilan saya hampir 10 minggu," tutur Elisabeth .
Kemudian Elisabeth meminta prosedur dilatasi dan kuretase (D&C), yaitu prosedur medis untuk mengangkat jaringan dari dalam rahim. "Dengan kondisi HG saya dan semua ini, saya sangat sakit. Saya punya tiga anak, dan menunggu sampai tubuh saya mengalami ‘mini-persalinan’ itu sangat berat," tuturnya.
Lantaran diatur sesuai undang-undang detak jantung di negara tersebut Elisabeth harus menunggu penanganan medis sekitar dua minggu untuk melihat apakah ia akan mengalami keguguran secara alami.
Hukum yang dimaksud adalah larangan aborsi di Carolina Selatan setelah usia kehamilan 6 minggu, yakni saat detak jantung janin biasanya mulai terdeteksi. Karena itulah hukum ini dikenal sebagai 'heartbeat bill' atau undang-undang detak jantung.
"Bayi saya tidak memiliki detak jantung, dan itu tetap saja menghalangi saya untuk mendapatkan perawatan,” kata ibu tiga anak ini.
Sedihnya lagi, Elisabeth sempat ditanya apakah kehamilannya benar-benar diinginkan atau tidak. Elisabeth merasa bahwa pertanyaan itu seolah-olah menyiratkan bahwa dia mencoba menggugurkan kandungannya secara diam-diam. Padahal, dia dan suaminya Thomas benar-benar menginginkan dan menanti calon anaknya tersebut.
"Jelas itu tidak benar. Saya menatap dia dan benar-benar berkata, ‘Bayi saya sudah meninggal. Setiap dokter yang saya temui tahu bayi saya sudah meninggal. Bayi saya tidak akan tiba-tiba memiliki detak jantung lagi," ucap Elisabeth Weber.
Elisabeth mengaku diberitahu bahwa ia hanya boleh kembali ke rumah sakit jika mulai mengalami pendarahan hebat, seperti pendarahan besar (hemoragi). Kecuali jika dia mengalami infeksi (sepsis) atau pendarahan hebat dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh pihak medis sebelum batas waktu dua minggu itu tercapai.
Saat berada di dalam mobilnya, Weber meluapkan kesedihannya dan kekecewaannya ditolak untuk menjalani prosedur D&C, meskipun janin di dalam kandungan tidak berkembang dan jantung telah berhenti.
"Bayi saya sudah berada di dalam tubuh saya dalam keadaan meninggal selama tiga minggu dan sekarang saya harus menunggu seminggu lagi dengan mengetahui bahwa bayi saya sudah meninggal, sebelum bisa melakukan apa pun," kata Elisabeth Weber.
"Saya tidak percaya saya dipaksa untuk membawa bayi saya yang sudah meninggal. Mereka tahu bayinya sudah tiada, mereka tahu ia telah berhenti berkembang, dan sekarang saya dipaksa untuk tetap mengandungnya. Tidak ada perasaan yang bisa dibandingkan dengan saat rahimmu menjadi kuburan," imbuh Elisabeth Weber.
Elisabeth mengatakan bahwa setelah mengunggah video TikTok-nya, seorang advokat pasien menghubunginya dan menyarankan agar ia pergi ke rumah sakit lain. Di sana, ia mengetahui bahwa jumlah sel darah putihnya sangat tinggi. Semua hasil menunjukkan bahwa Elisabeth sedang mengalami infeksi aktif.
"Namun setelah berjam-jam berada di rumah sakit tersebut, ia tetap diberi tahu bahwa ia tidak memenuhi kriteria untuk menjalani prosedur D&C," tutur Elisabeth Weber.
Begitulah kisah bumil bernama Elisabeth Weber yang dipaksa mengandung meski detak jantung janin sudah tak berdetak.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(pri/pri)