Koalisi Masyarakat Sipil Malang Raya Mengecam Kekerasan Aparat terhadap Massa Penolak UU TNI

2 days ago 8

TEMPO.CO, Malang - Sebanyak 94 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Malang Raya mengecam tindakan kekerasan aparat gabungan TNI-Polri terhadap demonstran yang menolak pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI.

Aksi unjuk rasa massa Koalisi dilakukan di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang pada Ahad, 23 Maret 2025. Demonstrasi ini bertajuk #SaatnyaKitaKatakanCukup: Tarik Militer ke Barak Episode II. Aksi serupa pertama dilaksanakan pada Kamis, 20 Maret 2025, bersama Aksi Kamisan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi demonstrasi 23 Maret itu berakhir dengan kericuhan dan tindakan represif yang dilakukan aparat gabungan, khususnya polisi, yang dibantu sekelompok pria berpakaian hitam yang belum terindentifikasi oleh Koalisi. 

Akibatnya, 25 mahasiswa menderita luka-luka (enam orang sempat dirawat di rumah sakit dan 1 orang masih dirawat di RS), 6 orang pendemo ditahan polisi—dua orang di antaranya berstatus pelajar SMA—dan mereka sudah dibebaskan polisi, serta sekitar 80 sepeda motor milik pendemo ditahan polisi. 

“Kami menilai tindakan represif terhadap sejumlah demonstran menjadi preseden buruk bagi perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan menambah daftar catatan kelam kekerasan aparat TNI-Polri terhadap masyarakat sipil,” demikian pernyataan sikap yang disampaikan Koalisi dalam konferensi pers daring atau online pada Jumat sore, 28 Maret 2025.

Perwakilan KMSMR Daniel Alexander Siagian menjabarkan, tindakan represif tersebut mencakup serangkaian serangan, perusakan, pemukulan, intimidasi, dan dugaan pelecehan seksual verbal terhadap demonstran perempuan. 

Kepala Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang itu menyebutkan bentuk-bentuk kekerasan yang digunakan aparat saat menangani aksi massa—mayoritas pendemo berstatus mahasiswa—pada 23 Maret kemarin sebagai tindakan eksesif atau tindakan keras yang melampaui batas kebiasaan atau berlebihan, yang terutama dilakukan aparat kepolisian. 

Salah satu indikasinya, aparat menyerang massa pendemo tanpa didahului peringatan melalui sumber suara, lampu gedung parlemen dan lampu taman depan balai kota pun dipadamkan sehingga hampir seluruh lokasi aksi demo gelap. Aparat juga melarang siapa pun selain anggota mereka merekam kejadian baik dalam bentuk foto maupun video. 

“Terlebih lagi serangan itu dialami oleh tim paramedis, kawan-kawan pers mahasiswa (8 orang) dan pers umum yang berdasarkan informasi terakhir yang kami terima ada 4 orang,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. 

Daniel menduga, tindakan eksesif oleh polisi telah melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa; Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri; Perkap Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-hara, serta Perkap Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

“Kami menilai bahwa kekerasan tersebut tidak dapat dinormalisasi sehingga dipandang perlu komandan tertinggi kepolisian baik di pusat dan daerah bertanggung jawab penuh, menyampaikan permintaan maaf terbuka, serta menghukum aparat pelaku kekerasan,” kata Daniel.

Berdasarkan penelusuran pers, kata Daniel, hingga sekarang Kepala Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota Komisaris Besar Nanang Haryono belum pernah sekalipun menyampaikan pernyataan terbuka, apalagi permintaan maaf, terkait tindakan polisi menangani demonstrasi Koalisi. Nanang juga terkesan menghindar maupun menolak pertanyaan yang disampaikan wartawan mengenai masalah itu. 

Beberapa Fakta Penting versi Koalisi

Ada beberapa fakta saat kejadian dan pasca-kejadian aksi demonstrasi 23 Maret belum sepenuhnya belum jelas ceritanya sampai kemudian dibuka narasumber konferensi pers yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil Malang Raya (KMSMR). 

Secara lebih spesifik, berdasarkan hasil pendataan bersama elemen Koalisi, kekerasan fisik dan verbal yang dialami korban berupa pukulan pakai tangan dan tongkat, tendangan, cekikan, pitingan, makian, ujaran rasialis, dan bahkan ancaman pembunuhan lewat telepon dan akun media sosial pasca-peristiwa. 

Akibat kekerasan fisik, 21 orang mengalami luka ringan, 3 orang luka sedang, dan satu orang luka berat. 

Seorang korban yang mengalami luka sedang bernama Muhammad Turaihan Azuri, mantan pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Malang. Ia mengalami bocor kepala dan jidat terluka akibat digebuki sekitar 5 aparat di halaman parkir Hotel Tugu. 

Tangannya diborgol, lalu dibawa ke Markas Polresta untuk diperiksa tanpa mendapat bantuan medis yang memadai. Selama pemeriksaan tangannya masih diborgol. Borgol baru dilepas sebelum 5 pendemo lainnya memasuki ruang penyidik untuk diperiksa. 

Kepalanya baru diperiksa tim medis Dokkes Polresta Malang setelah tim LBH Malang meminta penyidik memberikan bantuan pengobatan pada Turaihan, persis saat penyidik mulai membuat berita acara pemeriksaan (BAP) bagi keenam pendemo.  

Lalu, seorang pendemo mengalami luka berat atas nama Naufal Aulia Helmi Taqiyuddin alias Rembo, mantan pengurus Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya. 

Rembo mengalami rahang patah, tengkorak retak, dan hampir seluruh giginya lepas akibat dianiaya. Bahkan, ia dan anggota keluarganya sempat mengalami intimidasi saat dirawat di Rumah Sakit Umum dr Saiful Anwar (RSSA), rumah sakit umum milik Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur yang berada di Kota Malang.

Menurut Risnanda, pengurus EM UB, diperkirakan Rembo akan menjalani 3-4 kali operasi, dengan total biaya ditaksir mencapai Rp 100 juta—perkiraan awal Rp 70 juta. EM UB sudah membuka penggalangan donasi bagi pengobatan Rembo.

“Operasi pertama sudah dilakukan kemarin (Kamis, 26 Maret 2025). Dalam sebulan ke depan, kata dokter, saudara kami Rembo akan menjalani operasi 2-3 kali lagi, tergantung kondisinya. Ya, semoga operasinya enggak banyak dan kawan kita Rembo lekas sembuh,” kata Risnanda. 

Zakiya dan Salsabila dari Tim Paramedis Jalanan Malang (tim paramedis Koalisi) mengatakan, mereka mengalami perampasan alat medis, ancaman pembunuhan, serta kekerasan seksual verbal. Posko bantuan medis untuk Koalisi ikut diserang aparat.

Kata Zakiya, mereka kesulitan mengakses ambulans. Sepanjang antara pukul 14.30 hingga 19.00 WIB tidak ada satu pun mobil dan kru ambulans yang masuk ke ring 1 (pusat aksi demonstrasi) saat terjadi kericuhan. 

Ada seorang relawan ambulans mau menolong korban yang terluka tapi justru dilarang oleh relawan ambulans yang lain. Relawan ambulans yang ingin menolong korban diperbolehkan asalkan mengatasnakaman pribadi, bukan pakai institusi.

“Kami dapat info bahwa kru ambulans sudah di-briefing (diarahkan) oleh Polresta Malang bahwa enggak ada ambulans yang boleh masuk ke ring 1. Saya sendiri sudah mengangkat tangan agar mereka tidak masuk ke posko medis, tapi tetap dipukul di kepala,” ujar Zakiya. 

Rekannya, Salsabila, menambahkan bahwa posko mereka tidak sampai dihancurkan, tapi barang-barang di posko dibawa paksa oleh polisi untuk dijadikan barang bukti di Markas Polresta Kota Malang.

Fatwa Azis dari LBH Rumah Keadilan menyampaikan, timnya sempat mendampingi beberapa korban yang mengalami perampasan barang-barang berharga seperti telepon genggam, tas, dompet, serta kehilangan uang. 

Menurut Azis, ada kurang lebih 80 unit sepeda motor yang disita Polresta Kota Malang dengan alasan kendaraan roda dua itu ditinggal pemiliknya sehingga perlu diamankan. Namun, saat pemilik mau mengambil sepeda motornya, justru polisi melarang dan tetap disita tanpa dasar yang jelas. 

“Saat ini, alhamdulillah, sebagian besar sepeda motor sudah diambil pemiliknya,” ujar Azis. 

Sedangkan Muktiono Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Indonesia (Sapaham Indonesia) dan Dhia Al Uyun dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik dan Serikat Pekerja Kampus (KIKA/SPK) menyatakan perbuatan aparat saat menangani massa aksi demonstrasi sudah keterlaluan dan melanggar HAM. 

“Jadi, apa pun namanya, ini sudah kejahatan terhadap kemanusiaan, itu satu. Kemudian yang kedua, ini sudah melanggar hak masyarakat secara umum untuk mendapatkan rasa aman,” kata Dhia. 

Berdasarkan sejumlah temuan dan kondisi objektif saat berjalannya aksi demonstrasi 23 Maret, maka Koalisi Masyarakat Sipil Malang Raya menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut: 

1.    Mengutuk segala bentuk kekerasan dan tindakan represif oleh aparat keamanan yang telah bertindak dengan menggunakan kewenangannya secara eksesif saat mengamankan aksi demonstrasi. 

2.    Mengutuk segala bentuk ujaran dan stigma rasial yang dilakukan aparat terhadap masa demonstran. 

3.    Mengecam segala bentuk intimidasi pada tim paramedis. Tindakan ini telah mencederai hak massa pendemo untuk mengakses kesehatan dan pertolongan. 

4.    Mengecam penghalangan akses liputan yang disertai kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. 

5.    Mengutuk dugaan kekerasan seksual dan ujaran misoginis terhadap demonstran perempuan yang mencerminkan watak aparat yang tidak berperspektif gender. 

6.    Menuntut penghentian intimidasi dan teror pada sejumlah peserta demonstrasi pasca-aksi baik melalui telepon dan akun media sosial. 

7.    Mendorong seluruh elemen masyarakat untuk tetap menyuarakan kritik dan penolakan atas pengesahan UU TNI yang dapat menggerus supremasi sipil, melanggar profesionalitas TNI, mengingkari semangat Reformasi 1998, dan mengancam demokrasi, serta berpotensi memicu terjadinya pelanggaran HAM yang lebih buruk di masa mendatang.

8.    Mendorong seluruh elemen masyarakat untuk turut bersolidaritas pada korban kekerasan aparat. 

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online