Koalisi Masyarakat Sipil Ungkap Alasan Mengapa MK Mesti Batalkan UU TNI

10 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengungkapkan sejumlah alasan mengapa Mahkamah Konstitusi harus membatalkan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan menjadi kuasa hukum dari enam pemohon dalam permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon uji formil ini terdiri dari tiga organisasi advokasi HAM dan demokrasi, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Selain itu, terdapat tiga pemohon perorangan, yakni putri Gus Dur Inayah Wahid, mantan Koordinator KontraS Fatiah Maulidiyanty, dan mahasiswa Eva Nurcahyani. Peneliti Imparsial Riyadh Putuhena mengatakan gugatan ini diajukan karena proses revisi UU TNI bukan hanya mengabaikan partisipasi publik, tetapi juga memperkuat pengaruh militer di ruang sipil. 

“Dalam permohonan uji formil yang diajukan kami mendalilkan bahwa UU Nomor 3 Tahun 2025 dibuat secara ugal-ugalan (abusive law making) dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,“ kata Riyadh dalam keterangan tertulisnya, 8 Mei 2025.

Alasan pertama mengapa UU TNI harus dibatalkan karena revisinya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2025. Riyadh mengatakan ini bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR. 

Riyadh menyebut pengambilan keputusan untuk memasukan revisi UU TNI tidak termasuk dalam agenda rapat paripurna 18 Februari 2025. Namun, tiba-tiba Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir meminta persetujuan anggota DPR yang hadir untuk menyetujui revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025.

Kedua, revisi UU TNI juga bukan RUU carry over atau warisan DPR periode sebelumnya. Sehingga pembahasan revisi UU TNI melanggar Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR. Menurut Riyadh, revisi UU TNI tidak termasuk dalam 12 RUU carry over seperti tercatt dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029. 

“Oleh karena itu, revisi UU TNI tidak sepatutnya dilanjutkan ke tahap pembahasan, melainkan harus terlebih dahulu melalui tahapan perencanaan dan penyusunan undang-undang,” katanya.
 
Ketiga, revisi UU TNI tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI pasca reformasi 1998. Riyadh mengatakan, salah satu maksud awal pembentukan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah memisahkan TNI dari politik dan bisnis. Tujuannya agar TNI menjadi profesional. 

Namun, penambahan posisi jabatan sipil yang dapat dijabat oleh prajurit aktif pada Pasal 47 Revisi UU TNI justru memperluas peran militer di wilayah sipil. Riyadh mengatakan ini bertentangan dengan asas kejelasan tujuan serta asas kedayagunaan.

Keempat, proses pembahasan revisi UU TNI dengan sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan dan akuntabel. Riyadh menyebut revisi TNI sarat kegagalan pembentukan hukum bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945 serta UU P3 dan Tata Tertib DPR. 

Ia mengatakan segala dokumen pembentukan revisi UU TNI mulai dari naskah akademik, Daftar inventarisasi masalah (DIM), hingga undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik. Selain itu, rapat pembentukan revisi UU TNI oleh DPR dan pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup. 

“ini mempertegas abusive law making dalam pembentukan revisi UU TNI,” ucap Riyadh. 

Kelima, presiden dan DPR sengaja menahan revisi UU TNI dan tidak langsung membuka akses dokumen revisi UU TNI kepada publik. Riyadh mengatakan hingga gugatan uji formil didaftarkan , presiden dan DPR belum menyebarluaskan salinan revisi UU TNI yang telah diundangkan. 

“Pada laman resmi pemerintah maupun DPR tidak dapat ditemukan adanya dokumen revisi UU TNI,” ucapnya. 

Sebelumnya, putri mantan presiden Abdurrahman Wahid, Inayah Wulandari Wahid, menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 7 Mei 2025.

Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan UU TNI yang telah disahkan DPR pada Kamis, 20 Maret 2025 telah diteken Prabowo pada 27 atau 28 Maret 2025. 

"Sudah sudah, sebelum Lebaran, tanggal 27 atau 28 Maret," kata Prasetyo, Kamis, 17 April 2025.

Pengesahan revisi UU TNI menjadi undang-undang itu dilakukan DPR di tengah gelombang penolakan masyarakat sipil. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan revisi UU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir bila tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta agar TNI tetap di barak.

Menteri Pertahanan atau Menhan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan bahwa tidak ada lagi dwifungsi militer yang berlaku di Indonesia, meski revisi UU TNI sudah disahkan menjadi undang-undang. Menurut dia, konsep fungsi ganda militer itu sudah tinggal sejarah.

"Jangankan jasad, arwahnya pun sudah tidak ada," kata Sjafrie ditemui di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Kamis, 20 Maret 2025.

Sementara Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi mengklaim revisi UU TNI tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil. Kristomei juga menyatakan sudah melibatkan elemen masyarakat dalam revisi UU TNI yang saat ini telah disahkan oleh DPR. 

“Ini sudah memenuhi tahapan-tahapan,”  katanya dalam pengarahan pers online pada Selasa, 25 Maret 2025. 


Hendrik Yaputra, Novali Panji Nugroho, dan Vedro Imanuel Girsang berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online