Mahasiswa Penggugat Presidential Threshold Berharap Pilpres Hadirkan Variasi Calon Pemimpin

2 days ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK mengabulkan permohonan uji materiil yang meminta dihapusnya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Para pemohon gugatan tersebut beralasan, adanya presidential threshold justru membatasi pilihan calon pemimpin yang tersedia.

“Kami merasa bahwa pemimpin yang sekarang ditawarkan itu hanyalah tokoh yang itu-itu saja,” kata salah satu pemohon, Tsalis Khoirul Fatna, ketika dihubungi pada Jumat, 3 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan dikabulkannya gugatan itu, Fatna berharap pemilihan presiden mendatang akan menawarkan nama-nama calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam. Ia ingin ada tokoh baru yang datang dengan pendekatan dan perspektif yang baru.

“Saya pribadi punya mimpi, suatu saat nanti ada capres cawapres perempuan, tidak hanya Ibu Megawati saja. Tapi ada capres cawapres perempuan yang akan diangkat. Kemudian mengangkat isu-isu domestik, tidak hanya isu-isu publik saja,” ungkap wanita yang akrab disapa Nana tersebut.

Menurut dia, adanya presidential threshold membuat politik seakan-akan terasa eksklusif dan hanya menjadi mainan dari beberapa elite politik. Konsolidasi politik dijadikan alasan untuk dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan politik di balik layar yang tidak dibaca oleh publik.

Dirinya berharap, ajang pilpres ke depan bisa lebih inklusif untuk bisa diikuti oleh berbagai golongan. Harapan itu, menurut Nana, selama ini terganjal dengan adanya syarat presidential threshold sebesar 20 persen.

“Suatu saat nanti mungkin ada capres cawapres dari Buddha, dari teman-teman dari non-Muslim, atau bahkan teman-teman dari timur (Indonesia),” harapnya.

Adapun putusan MK dengan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang berhasil menghapuskan presidential threshold tersebut diajukan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, serta Tsalis Khoirul Fatna.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menilai syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya pada dasarnya bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menurut MK, adanya ketentuan ini justru dapat membatasi kedaulatan rakyat dalam berdemokrasi.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online