PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah menjadi sorotan, terutama terkait dengan aturan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa pihak menilai bahwa ketentuan dalam rancangan ini dapat memengaruhi kewenangan lembaga penegak hukum, termasuk KPK, dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Pengamat hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Muhammad Rustamaji, sebelumnya mengingatkan DPR agar cermat dan berhati-hati dalam menyusun dan membahas RUU KUHAP. Menurutnya, konsep baru dalam RUU KUHAP harus memperhatikan sinkronisasi kewenangan dalam integrasi proses penegakan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rustamaji menjelaskan bahwa salah satu perubahan krusial dalam RUU KUHAP adalah kemungkinan penghapusan tahapan penyelidikan yang tidak diformulasikan secara jelas. Hal ini dapat menimbulkan dampak besar dalam sistem penegakan hukum, terutama dalam tahap awal pengungkapan tindak pidana.
Menurutnya, penyidikan yang dilakukan tanpa didahului oleh penyelidikan dapat meningkatkan jumlah laporan yang langsung ditindaklanjuti tanpa adanya tahap filterisasi yang memadai. “Masyarakat yang terbiasa membawa seluruh permasalahan ke jalur hukum bisa mengalami kecenderungan addictive to law, di mana setiap persoalan langsung direspons dengan penyidikan,” ujar Rustamaji di Semarang, Senin, 27 Januari 2025, dikutip dari Antara.
Lebih lanjut, Rustamaji menyoroti bahwa hal ini dapat berujung pada ketidakseimbangan antara jumlah penyidik dengan perkara yang masuk, sehingga menimbulkan beban berlebih bagi aparat penegak hukum. Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya formulasi yang jelas dalam hal upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam RUU KUHAP, urutan upaya paksa ini dinilai belum disusun secara sistematis.
Perdebatan Soal Penyadapan
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah mengenai penyadapan. Dalam rancangan ini, penyadapan dan penggunaan data intelijen untuk kepentingan penyidikan tidak diakomodasi secara eksplisit. Hal ini memicu perdebatan, terutama karena KPK sebagai lembaga antirasuah menyatakan akan tetap berpegang pada asas lex spesialis, yakni mengikuti aturan internalnya sendiri terkait penyadapan, tanpa tunduk pada ketentuan baru dalam RUU KUHAP.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP akan dilakukan di Komisi III DPR RI. “Oh iya sudah pasti, pasti 100 persen pembahasan di Komisi III,” ujarnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 27 Maret 2025.
Habiburokhman juga menyatakan bahwa DPR terbuka terhadap berbagai masukan dari masyarakat dan lembaga terkait dalam proses pembahasan. “Kami ingin memastikan bahwa pembahasan ini berjalan dengan maksimal dan mempertimbangkan berbagai masukan,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa pembahasan RUU KUHAP menjadi salah satu yang paling unik dalam sejarah, karena aspirasi masyarakat telah dikumpulkan jauh sebelum rapat kerja bersama pemerintah resmi dimulai. “Ini undang-undang yang dalam tanda kutip ‘aneh’, tetapi dalam arti positif, karena kita sudah menyerap aspirasi masyarakat sejak awal,” tambahnya.
Sapto Yunus berkontribusi dalam penulisan artikel ini.