Jakarta -
Tahukah Bunda? Sebagian besar tempat kerja saat ini sedang ramai membicarakan revenge quitting. Karyawan tiba-tiba meninggalkan pekerjaan sebagai respons terhadap pengalaman negatif di tempat kerjanya.
Menurut laporan Glassdoor yang terbaru, pasar kerja mungkin siap untuk gelombang baru orang-orang yang mengundurkan diri.
Berdasarkan jajak pendapat Oktober lalu yang melibatkan 3.390 profesional di Glassdoor, hampir 2 dari 3 pekerja melaporkan merasa terjebak dalam peran mereka saat ini. Mereka yang bekerja di bidang teknologi dan periklanan merasa sangat kecewa dengan prospek pekerjaannya.
Kepuasan karyawan terhadap peluang karier mereka telah menurun sejak 2022 setelah orang-orang menempati peran baru menyusul ledakan perekrutan pascapandemi yang dikenal sebagai Great Resignation.
“Orang-orang tidak merasa pasar kerja menguntungkan mereka saat ini, bahkan jika kamu mendengar para ekonom dan pembuat kebijakan berbicara tentang betapa kuat dan tangguhnya pasar kerja,” kata ekonom senior Glassdoor, Daniel Zhao, dikutip dari laman CNBC Make It, Selasa (7/1/2025).
“Banyak hal yang berkaitan dengan fakta bahwa orang merasa tertahan dalam karier mereka, khususnya terkait pertumbuhan karier, peluang untuk naik jenjang, untuk mendapatkan kenaikan gaji, atau untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih cocok untuk mereka,” ucapnya.
Frustrasi yang terpendam terhadap pekerjaan mereka, jika dipadukan dengan peluang baru, dapat memicu gelombang yang disebut sebagai revenge quitting.
Tanda karyawan akan revenge quitting
Melansir dari laman Forbes, Kepala desain dan strategi pembelajaran MasterClass at Work, John Scott, membagikan beberapa tanda bahaya yang menunjukkan seorang karyawan mungkin akan melakukan revenge quitting.
- Kurangnya transparansi tentang promosi dan pertumbuhan profesional
- Tidak mampu untuk terhubung dengan tujuan yang lebih dalam
- Konflik yang memburuk karena kurangnya komunikasi dan penyelesaian
- Karyawan tidak terlibat dalam aktivitas di luar lingkup peran mereka
Cara pengusaha mengurangi revenge quitting
Untuk mengurangi risiko revenge quitting, konsultan senior di SHL, Dr. Marais Bester, yakin para pemimpin harus fokus pada pengembangan budaya tempat kerja yang menghargai kontribusi karyawan dan memenuhi kebutuhan mereka yang terus berkembang.
“Ini melibatkan mendengarkan masukan secara aktif, menyediakan peluang yang jelas untuk kemajuan karier, dan menumbuhkan lingkungan yang menghargai dan inklusif,” ucapnya.
Ia menjelaskan bahwa sistem kerja yang fleksibel, gaji kompetitif, dan pengakuan yang tulus atas upaya karyawan juga sangat penting untuk mempertahankan bakat, terutama karena generasi muda menuntut transparansi dan keselarasan yang lebih besar dengan nilai-nilainya.
“Para pemimpin juga perlu memprioritaskan peningkatan keterampilan tenaga kerja mereka untuk mempersiapkannya menghadapi masa depan, dengan menunjukkan komitmen yang tulus terhadap pengembangannya,” ujar Bester.
Bester menyimpulkan bahwa dengan mengambil beberapa langkah proaktif itu, organisasi perusahaan dapat membangun kembali kepercayaan, memperkuat keterlibatan, dan mengurangi rasa frustrasi yang mendorong revenge quitting.
Seiring dengan tren revenge quitting yang semakin meningkat, ini mungkin menjadi faktor pengubah permainan di pasar kerja tahun 2025.
Nah, itulah beberapa hal yang dapat Bunda ketahui terkait revenge quitting yang saat ini tengah ramai dibicarakan di dunia kerja. Semoga bermanfaat, ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar dan klik di SINI. Gratis!
(asa/som)