Menteri Kesehatan Beberkan Penyebab Indonesia Sulit Cetak Dokter Spesialis

7 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia masih sulit untuk mencetak banyak dokter spesialis. Penyebabnya adalah program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Indonesia berbeda dari negara lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budi mengatakan salah satu masalah mengapa produksi dokter spesialis lambat karena PPDS di Indonesia adalah pendidikan akademik. Sedangkan di semua negara pendidikan dokter spesialis adalah pendidikan profesi.  

“Itu yang membuat jadi prosesnya berbeda dan kecepatan produksinya jauh berbeda,” kata Budi saat rapat dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen DPR, Jakarta, Selasa, 29 April 2025.

Budi membandingkan sistem pendidikan dokter spesialis di Inggris dengan Indonesia. Inggris, kata Budi, bisa memproduksi 6.000 dokter spesialis per tahun dengan populasi seperlima dibandingkan Indonesia. Sedangkan Indonesia hanya memproduksi 2.700 dokter spesialis per tahun atau hanya sepertiga dari Inggris dengan populasi lima kali lebih besar, 

“Setelah kami banding-bandingkan, semua negara kalau kita mau jadi dokter spesialis, itu bekerja tetap di rumah sakit dan ditingkatkan kompetensinya,” ucap Budi. 

Budi mengakui pemerintah memang belum memiliki kajian komprehensif mengenai kebutuhan tenaga dokter umum, khususnya dokter spesialis di tanah air. Padahal, kata dia, pendidikan dokter spesialis sejak SMA membutuhkan waktu 10-15 tahun.

“Jadi progresnya panjang. Jadi kalau kita tidak memiliki perencanaan jangka panjang mengenai kebutuhan ini akan sangat susah sekali,” tuturnya.

Selain itu, yang menjadi masalah, kata dia, bagaimana menyesuaikan kebutuhan dokter spesialis dengan epidemiologi mendatang. Sebab, kata dia, epidemi bisa saja berubah ketika dokter spesialis lulus. Sehingga harus disusun perencanaan tenaga kesehatan dokter spesialis. 

“Dan ini harus benar-benar disusun kebutuhan jangka panjang. Kalau jangka pendek kita bikinnya, sampai ke sana sudah berubah lagi kondisi epidemiologisnya,” kata dia.

Ia mencontohkan bagaimana jumlah warga lanjut usia lebih banyak dibanding balita di Jawa Barat. Sedangkan 10 tahun lalu sebaliknya. Perubahan demografi ini membuat kebutuhan dokter spesialis berubah dari sebelumnya sesuai kebutuhan untuk balita menjadi lansia. 

“Sebenarnya relevansinya lebih banyak orang tua kayak saya gitu yang harus diurus. Yang jenis penyakitnya mungkin kanker, stroke, sakit jantung, sakit mental. Nah itu kalau perubahan itu, kalau kita tidak hati-hati gap-nya akan jauh sekali,” ujarnya.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online