JOGYAKARTA - Bupati Kulonprogo, cara mengurus daerahnya sangat bertolak belakang dengan pimpinan di pusat yang mengutamakan impor.
Apa yang terjadi di Kulonprogo saat ini?
Teladan dalam Senyap
(belajar nasionalisme ekonomi dari Kulonprogo)
Kulonprogo bukanlah daerah yang jadi sorotan media. Bukan kota besar seperti Bandung, Surabaya, apalagi Jakarta.
Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo, pun tak sepopuler Kang Emil, Bu Risma apalagi Ahok.
Walau tanpa sorotan media, Hasto Wardoyo, telah meletakkan spirit kemandirian sebuah bangsa. Ia mengajak warganya keluar dari kemiskinan, dengan kekuatannya sendiri.
Hasto memberi teladan dalam senyapnya publikasi. Ia memulai dengan gerakan bela dan beli Kulonprogo.
Antara lain, dengan mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan para pelajar dan PNS di sana mengenakan seragam batik geblek renteng, batik khas Kulonprogo, pada hari tertentu.
Ternyata, dengan jumlah 80.000 pelajar dan 8.000 PNS, kebijakan ini mampu mendongkrak industri batik lokal.
Sentra kerajinan batik tumbuh pesat, dari cuma 2 menjadi 50an. Seribuan perajin batik Kulonprogo yang biasanya bekerja di Yogyakarta, kini bisa bekerja di Kulonprogo.
Uang ratusan miliar rupiah dari usaha kecil inipun berputar di Kulonprogo.
Puryanto, seorang pengusaha batik di desa Ngentarejo, mengaku omzetnya meningkat bahkan pernah hingga mencapai 500 persen.
Hasto, yang menjabat Bupati sejak 2011, juga berusaha menjamin pendapatan petani lokal, dengan mewajibkan setiap PNS membeli beras produksi petani Kulonprogo, 10 kg/bulan.
Bahkan beras raskin yang dikelola Bulog setempat, kini menggunakan beras produksi petani Kulonprogo.
Sang Bupati yang juga dokter spesialis kandungan ini juga membuat PDAM mengembangkan usaha, dengan memprodusi Air kemasan merk AirKu (air Kulonprogo ).
Selain menyumbangkan PAD, keberadaan air kemasan ini membangkitkan kebanggaan warga setempat dengan mengkonsumsi air produk sendiri.
AirKu kini menguasai seperempat ceruk pasar air kemasan di Kulonprogo.
Anto, staf setempat, menuturkan, kini jumlah permintaan lebih besar dari produksi. Karena itu, volume produksi AirKu akan segera ditingkatkan.
Berbagai kebijakan lewat Program Bela dan Beli, ternyata mampu menurunkan angka kemiskinan di Kulonprogo.
Dari 22,54 % pada tahun 2013 menjadi 16,74 % pada tahun 2014 (data Bappeda).
Oh ya, jika Anda ke Kulonprogo, Anda tak akan menemukan papan iklan rokok. Pemerintah Kulonprogo memang menolak sponsor dari perusahaan rokok.
Kebijakan ini tentu mengurangi pendapatan daerah. Namun, memimpin daerah bukan cuma soal menggenjot pendapatan tapi menempatkan posisi moral yang memihak rakyat.
Dalam hal ini, membela hak kesehatan rakyat. Bupati yang lulusan UGM ini juga memberlakukan Universal Coverage dalam pelayanan kesehatan, di mana Pemkab Kulonprogo menanggung biaya kesehatan warganya Rp 5 juta /orang.
Untuk mengimbangi program Universal Coverage, RSUD Wates Kulonprogo memberlakukan layanan tanpa kelas.
Artinya, ketika kelas 3 penuh, pasien miskin bisa dirawat di kelas 2, kelas 1, bahkan VIP.
Sekali lagi, berbagai kebijakan populis ini dijalankan tanpa banyak sorotan media.
Dan satu lagi di Kulonprogo Alfaxxxx dan Indoxxxx yang biasanya berdampingan bagai pasangan yang tak terpisahkan itu (di mana ada alfaxxxx, di situ ada indoxxxx) tidak diijinkan untuk membuka usahanya, kecuali mau bermitra dengan Koperasi dengan syarat dan ketentuan tertentu.
Salah satunya kewajiban menampung produk UKM di dalam gerai tersebut dan mempekerjakan karyawan dari anggota koperasi.
Alfaxxxx dan Indoxxxx yang bekerja sama dengan koperasi, namanya bukan Alfaxxxx dan Indoxxxx lagi tapi diganti menjadi TOMIRA (Toko Milik Rakyat).
Semoga bisa ditiru dan dilaksanakan pimpinan daerah lain.
Jika Kabupaten Kulonprogo bisa mengapa Kabupaten, Kota lain nggak bisa?
Ayoo maju bangsaku, rakyatku semuanya!
Sumber: @ahmad taufik