TEMPO.CO, Jakarta - Prevalensi jumlah perokok elektrik di Indonesia mengalami peningkatan pada tujuh tahun terakhir. Merujuk data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada 2023, perokok elektrik didominasi kalangan remaja berusia 15-19 tahun.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget Saragih mengatakan prevalensi perokok elektrik di Indonesia pada 2023 meningkat dua kali lipat ketimbang 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pada 2018 jumlahnya 0,06 persen. Namun, pada 2023 menjadi 0,13 persen," kata Benget dalam kegiatan Media Luncheon Lentera Anak dan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (Rukki), Selasa, 29 April 2025.
Menurut Benget, meningkatnya prevalensi perokok elektrik di Indonesia disebabkan oleh makin menariknya desain dan kemasan yang produk nikotin.
Karena itu, dia melanjutkan, melalui aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, Kementerian Kesehatan akan melakukan pembatasan pada aspek daya tarik produk.
"Desain dan kemasan yang menarik menjadi strategi pemasaran yang efektif bagi industri tembakau untuk menarik perhatian anak muda," ujar dia.
Kementerian Kesehatan juga akan menerapkan peningkatan efektivitas grafis pada kemasan rokok elektrik untuk menurunkan jumlah prevalensi dalam beberapa tahun ke depan.
"Peringatan grafis tentang dampak kesehatan akan lebih terlihat. Kalau sebelumnya 40 persen, nanti akan jadi 50-60 persen," ucap Benget.
Dalam kesempatan serupa, Ketua Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan desain produk dan kemasan produk rokok elektrik yang tak lagi menyerupai produk nikotin berhasil menarik banyak minat anak muda di Indonesia untuk mengkonsumsi produk tersebut.
Faktor lain yang turut menyebabkan meningkatnya jumlah prevalensi perokok elektrik, kata dia, juga dilatari oleh strategi pemasaran industri yang melibatkan kalangan selebriti dan pemengaruh.
Lisda memaparkan data Tobacco Enforcement and Reporting Movement dari Vital Strategies pada 2022, misalnya, mengulas strategi pemasaran berperan besar dalam menarik minal remaja untuk mengkonsumsi produk nikotin.
"41 persen ramaja mengetahui produk rokok elektrik dari konten yang diunggah selebritis atau pemengaruh di media sosial," kata Lisda.
Strategi pemasaran yang melibatkan selebritis atau pemengaruh ini, kata dia, semakin efektif dengan memanipulasi unggahan untuk menyembunyikan bahaya dari produk nikotin itu sendiri.
"Temuan kami di media sosial, promosi rokok elektrik disisipkan agar serupa dengan konten gaya hidup," ujar dia.
Konten gaya hidup yang dimaksud, dia menjelaskan, misalnya menampilkan seorang anak muda yang tengah melakukan aktivitas dengan tetap menggenggam produk nikotin. "Istilahnya, menjadi starter pack," katanya.
Ketua RUKKI Mouhammad Bigwanto mengatakan, selain desain dan strategis pemasaran, faktor lain yang mendorong peningkatan prevalensi perokok elektrik di Indonesia juga didasari atas klaim sesat yang disampaikan sejumlah akademisi.
"Misalnya, vape tidak berbahaya atau vape lebih efektif membantu perokok beralih dari kebiasaan merokoknya," ujar Bigwanto.
Padahal, kata dia, rokok elektrik tidak jauh berbeda dengan rokok konvensional. Cairan rokok elektrik atau liquid mengandung propilen glikol atau gliserin, serta nikotin.
Propilen glikol atau gliserin ini berfungsi untuk memproduksi uap air pada saat rokok elektrik dikonsumsi oleh pengguna.
"Penelitian menunjukkan, menghirup propilen glikol dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan pada beberapa individu," kata Bigwanto.
Ia pun mendorong agar Kementerian Kesehatan dapat segera merampungkan aturan turunan pada Peraturan Pemerintah Nomo 28 Tahun 2024 untuk mengendalikan konsumsi tembakau, baik konvensional dan elektrik di Indonesia.