TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas persentase pencalonan presiden atau presidential threshold akan menjadi bahan untuk persiapan membentuk omnibus law politik. Kabarnya, paket undang-undang politik tersebut akan dilakukan melalui revisi Undang-Undang Pemilu yang sudah masuk Program Legislasi Nasional.
Menurut Zulfikar, DPR akan membahasnya setelah reses berakhir. Saat ini para anggota DPR menjalani reses sejak 6 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025. Zulfikar menyatakan tidak ingin putusan MK itu memperlemah konstelasi politik yang sudah dibangun lantaran setiap partai politik peserta pemilu bisa mengusung calonnya sendiri dalam kontestasi pemilihan presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab, pengelompokan berdasarkan ideologi dan platform partai politik selama ini berjalan positif. Dia menyebutkan, misalnya, adanya Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung pemerintahan dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi penyeimbang.
Politikus Partai Golkar ini juga menyoroti munculnya banyak kandidat sebagai dampak putusan MK itu. Menurut dia, jumlah kandidat yang banyak akan membuat pemilihan presiden berlangsung dalam dua putaran atau lebih. "Saat ada putaran dua, pengelompokan partai bisa benar-benar transaksional dan pragmatis," ujar dihubungi Ahad, 5 Januari 2025. "Ini memunculkan siapa yang lebih berani memberikan tawaran materi lebih tinggi dan sharing jabatan.”
Partai Golkar, Zulfikar menegaskan, akan mengupayakan meninjau ulang ambang batas persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu dalam Undang-Undang Pemilu. Zulfikar mengatakan ujian parpol sesungguhnya melalui pemilu, bukan sekedar memenuhi persyaratan administrasi faktual yang ditentukan oleh UU kan.
"Kalau saya sih tidak menyamakan partai yang baru ikut pemilu dengan yang sudah berkali-kali, yang sudah teruji,” kata Zulfikar.
MK menyatakan syarat ambang batas itu pencalonan presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan. Presidential threshold, menurut hakim konstitusi, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pertimbangan tersebut menjadi alasan hakim konstitusi tak hanya mengubah ambang batas namun mengubah rezim presidential threshold secara keseluruhan.
Meski begitu, MK menegaskan, penghapusan ambang batas tetap harus memperhitungkan jumlah berlebihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang merusak hakikat pemilihan presiden. MK memberikan lima poin pedoman sehubungan dengan rekayasa konstitusional kepada DPR dan pemerintah setelah menghapus presidential threshold.
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, usulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak berdasarkan persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu bisa bergabung sepanjang tidak menyebabkan dominasi partai politik. Sebab, dominasi menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden akan mendapatkan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya. Kelima, perumusan rekayasa konstitusional, juga perubahan Undang-Undang Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang concern terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR. Cara yang bisa dilakukan adalah menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation.