TEMPO.CO, Jakarta – Sekretaris Jenderal Partai Golkar Sarmuji mengatakan bahwa partainya akan merumuskan rekayasa konstitusional baru yang sesuai putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas pencalonan presiden. Sarmuji menilai sulit menghidupkan kembali presidential threshold meskipun dengan persentase baru.
“Ini tentu tidak mudah,” kata Sarmuji ketika dihubungi oleh Tempo pada Ahad, 5 Januari 2024. “Secara politik juga kecil peluangnya jika harus kembali menghidupkan presidential threshold.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sarmuji mengaku terkejut dengan putusan MK itu. Menurut dia, hakim konstitusi biasanya menolak gugatan ambang batas calon presiden. Para hakim konstitusi, kata dia, juga punya pandangan sama dengan para politikus soal perlunya batas suara partai bisa mengusung calon presiden. Karena itu, partai-partai terdorong untuk berkoalisi setelah pemilihan legislatif. “Ambang batas itu diperlukan untuk menjadikan sistem presidensial berjalan lebih efektif,” kata Sarmuji.
Sarmuji mengatakan putusan MK itu akan lebih menyulitkan partai dalam membangun koalisi. Sebab, setiap partai politik peserta pemilu bisa mengusung calonnya sendiri dalam pemilihan presiden. Namun, kata Sarmuji, Partai Golkar sebagai salah satu partai pendukung utama pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), akan berupaya menemukan formulasi tepat setelah keluarnya putusan MK itu.
Dihubungi secara terpisah, Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin mengatakan penghapusan presidential threshold akan menjadi bahan untuk persiapan membentuk omnibus law politik. Dia mengungkapkan partainya akan mengupayakan untuk meninjau ulang ambang batas persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu dalam Undang-Undang Pemilu.
Zulfikar mengatakan ujian parpol sesungguhnya melalui pemilu, bukan sekedar memenuhi persyaratan administrasi faktual yang ditentukan oleh UU kan. “Kalau saya sih tidak menyamakan partai yang baru ikut pemilu dengan yang sudah berkali-kali, yang sudah teruji,” kata Zulfikar.
MK menyatakan syarat ambang batas 20 persen pencalonan presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan. Presidential threshold, menurut hakim konstitusi, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pertimbangan tersebut menjadi alasan hakim konstitusi tak hanya mengubah ambang batas namun mengubah rezim presidential threshold secara keseluruhan.
Meski begitu, MK menegaskan, penghapusan ambang batas tetap harus memperhitungkan jumlah berlebihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang merusak hakikat pemilihan presiden. MK memberikan lima poin pedoman sehubungan dengan rekayasa konstitusional kepada DPR dan pemerintah setelah menghapus presidential threshold, termasuk revisi undang-undang pemilu.