TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute mengkritik Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang memberi DPR wewenang untuk megevaluasi pejabat negara hasil uji kelayakan (fit and proper test). Lembaga penelitian itu menilai revisi tata tertib tersebut bersifat cacat formil dan materiil.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi mengatakan langkah DPR kali ini merupakan bentuk intervensi keliru atas prinsip saling kontrol atau checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia khawatir akan dampak yang mungkin muncul dari revisi tata tertib ini, yakni DPR pada akhirnya bisa mencopot pejabat negara lewat evaluasi.
Pasal terbaru dalam Tata Tertib DPR tidak menyebutkan wewenang mencopot jabatan, namun menyatakan hasil evaluasi DPR bersifat mengikat. “Tentu bisa berujung pada pencopotan, jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pencopotan seorang pejabat penyelenggara negara,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis pada Rabu, 5 Februari 2025.
Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib disahkan dalam rapat paripurna di gedung parlemen, Jakarta Pusat pada Selasa, 4 Februari 2025. Revisi yang diajukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR adalah penambahan Pasal 228A di antara Pasal 228 dan Pasal 229 di dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020.
Pasal 228A ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.”
Kemudian ayat (2) dari Pasal 228A berbunyi, “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang mlakukan evaluasi kepada pimpinan DPR RI untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Beberapa pejabat negara yang harus melewati uji kelayakan dan ditetapkan dalam rapat paripurna di DPR termasuk calon hakim Mahkamah Konstitusional (MK) dan Mahkamah Agung (MA), calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Hendardi menilai substansi norma Pasal 228A keliru secara formil dan materiil. Sebab, seharusnya, peraturan internal suatu lembaga hanya mengatur urusan lembaga itu sendiri beserta pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga itu. Sedangkan menurutnya, revisi Tata Tertib DPR melampaui puluhan undang-undang sektoral yang menjamin independensi berbagai lembaga.
Ia juga menilai norma Pasal 228A Tata Tertib DPR bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal itu menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Hendardi berkata, frasa itu bertujuan menjamin independensi lembaga-lembaga yang diatur UUD dan memastikan tidak ada peraturan lain yang melemahkan independensi tersebut.
Ketua Setara Institute itu lantas meminta DPR berfokus pada tugas utamanya, alih-alih menegakkan “supremasi parlemen” yang melampaui prinsip pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD.
“Peraturan DPR yang cacat formil dan materiil ini sebaiknya tidak perlu diundangkan dan jika sudah terlanjur diundangkan, bisa diperkarakan ke Mahkamah Agung, untuk segera dibatalkan,” ucap dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini