TEMPO.CO, Yogyakarta- Suara Ibu, gerakan perempuan yang sebagian merupakan aktivis perempuan 1998 di Yogyakarta menyiapkan demonstrasi menuntut pencabutan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia dan mengecam berbagai kekerasan polisi dan tentara terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa menolak UU TNI di sejumlah daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu inisiator demonstrasi Suara Ibu, Amalinda Savirani mengatakan demonstrasi menolak militerisme akan berlangsung di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Sabtu sore, 29 Maret 2025. Guru Besar Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menggalang dukungan bersama aktivis perempuan 1998, salah satunya Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan periode 1998-2006, Ita Fatia Nadia. “Kami mengajak seluruh ibu turun mendukung demonstrasi mahasiswa,” kata Amalinda Savirani kepada Tempo, Sabtu, 29 Maret 2025.
Demonstrasi Suara Ibu sehari sebelumnya berlangsung di kawasan Sarinah, Jakarta. Puluhan perempuan, termasuk ibu-ibu membawa poster dan berorasi secara damai mengecam kekerasan polisi dan tentara dalam berbagai demonstrasimahasiswa menolak UU TNI. Mereka menilai UU TNI merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan dwifungsi militer.
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan periode 1998-2006, Ita Fatia Nadia bercerita tentang sejarah Suara Ibu. Berbagai gelombang protes menumbangkan Presiden Soeharto yang melibatkan mahasiswa dan aktivis pada 21 Mei 1998. Menurut dia, ribuan perempuan dari berbagai organisasi masyarakat sipil melebur menjadi satu gerakan untuk melawan kekuasaan otoriter Orde Baru.
Tanpa sekat dan kelas-kelas sosial, para perempuan yang mendapat cap radikal oleh pemerintahan Orde Baru itu tumplek bersama gerakan mahasiswa 1998. Ita, kini berusia 67 tahun saat itu ikut berdemonstrasi. Dia juga menggalang rapat-rapat gelap dan berbagai diskusi untuk menyiapkan strategi gerakan perempuan.
Pemerintahan Orba pada 1980 punya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus yang menggencet gerakan mahasiswa. Pemerintah saat itu membatasi mahasiswa bersuara dan banyak rektor yang diganti. Tekanan itu membuat mahasiswa dari sejumlah kampus seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendiskusikan berbagai perlawanan dan menyebarkan koran-koran secara sembunyi-sembunyi.
Ita saat itu menjadi mahasiswa UGM dan aktif terlibat dalam berbagai diskusi. Salah satu aktivis yang terlibat dalam gerakan perlawanan dan masuk ke kampus adalah Ratna Saptari, pendiri Kalyanamitra organisasi feminis yang juga mengajar di Belanda. Ratna mengajak mahasiswa mendiskusikan isu-isu perempuan.
Lalu muncul gerakan hak asasi manusia yang melawan kekerasan terhadap Gerakan Wanita Indonesia, organisasi perempuan terbesar di Indonesia Tahun 1965. “Kami intens diskusi tentang kekerasan terhadap perempuan dan militerisme,” kata Ita.
Dari situ kemudian berkembanglah kelompok-kelompok diskusi yang banyak membahas isu buruh perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Di Yogyakarta berdiri Yayasan Annisa Swasti pada 1983 yang fokus pada isu buruh perempuan. Ada juga Solidaritas Perempuan dan Perempuan Mardika. "Kami bergerak secara bawah tanah karena Pemerintah Orba sangat represif," kata Ita.
Gerakan-gerakan perlawanan perempuan terhadap kekuasaan Orba terus berlangsung. Pemerintah Orba membreidel Majalah Tempo pada 1982. Koran perempuan bernama Mitra Media yang aktif mengkritik otoritarianisme dan militerisme milik Kalyanamitra juga turut dibreidel.
Gerakan-gerakan perempuan lalu mengorganisasi demonstrasi melawan Orba bersama Aliansi Jurnalis Independen. Ita termasuk aktivis yang menjalani interogasi selama enam jam di markas tentara di Jalan Guntur di Jakarta.
Perlawanan aktivis terus menggelinding. Ada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan International NGO Forum on Indonesia Development atau Infid yang terlibat bersama gerakan perempuan. Seluruh gerakan masyarakat sipil melebur pada 1990-an untuk melawan Soeharto. Ita ingat dia mendapatkan bagian untuk menjadi koordinator lapangan, menghadapi tentara.
Rapat-rapat para aktivis berlangsung di LBH Jakarta. Puncak perlawanan terjadi pada 1997 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Saat itu harga barang kebutuhan pokok naik, termasuk susu anak.
Rapat-rapat para aktivis berlangsung di LBH Jakarta. Pakar filsafat, Toeti Herati saat itu datang rapat. Puncak perlawanan terjadi pada 1997 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Saat itu harga barang kebutuhan pokok naik, termasuk susu anak. Rapat akbar para aktivis kembali berlangsung sebelum gelombang demonstrasi 1998 terjadi.
Mereka berdebat keras tentang strategi gerakan karena kekuatan militer dan situasi politik yang makin memanas. Peserta rapat kemudian menggunakan isu kenaikan harga susu untuk melawan pemerintah Orba. Dalam rapat tersebut ada filsuf Karlina Supelli dan pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Gadis Arivia. Karlina sekarang mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Gadis Arivia mengajar di Montgomery College, Amerika Serikat.
Lalu munculah demonstrasi besar di bundaran HI oleh aktivis gerakan Suara Ibu Peduli. Setelah itu gerakan mahasiswa membesar dan melakukan perlawanan pada Mei 1998. Saat itu ribuan ibu-ibu dari berbagai kampung, mahasiswa, dan relawan yang membuat dapur umum dan menyediakan makanan dan minuman untuk para demonstran.