TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Film Dirty Vote Dandhy Dwi Laksono menantang Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak berdiskusi dengan tiga pakar hukum tata negara yang mengisi film dokumenter itu.
Tiga pakar hukum tata negara itu yakni, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Diskusi itu akan membahas mengenai revisi UU TNI, rangkap jabatan sipil, dan Dwifungsi militer sejak era Mantan Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution hingga Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tantangan itu disampaikan Dandhy setelah Maruli menyebut pembuat film Dirty Vote tidak bernyali pada Februari 2024 lalu.
"Jadi pengen 'uji nyali' sama KSAD. Misalnya begini: beliau mengirim 3 jenderal terbaiknya untuk diskusi atau debat dengan 3 kawan sipil ini," kata Dandhy merujuk Zainal Arifin, Bivitri, dan Feri, dalam unggahanya di media sosial X, Jumat, 14 Maret 2025. Tempo diizinkan mengutip unggahan itu untuk dijadikan berita.
Dalam postingan itu, Dandy pun menanggapi ucapan Maruli yang menyebut pembuat Film Dirty Vote tidak bernyali. Dandy merupakan pembuat film yang mengungkap desain kecurangan pemilu 2024 itu.
Dandy mengatakan, pihak yang tidak bernyali justru tetap menjadi prajurit TNI meski sudah duduk di jabatan sipil. "Tidak bernyali itu mau jabatan dan gaji sipil, tapi enggak berani lepas seragam, bedil, dan tongkat komando," kata dia.
Tempo sudah mencoba meminta tanggapan mengenai ajakan diskusi kepada Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayan. Namun, dia belum membalas pesan Tempo.
Film Dirty Vote resmi dirilis pada 11 Februari 2024 melalui kanal resmi YouTube. Film dokumenter ini disutradarai oleh Dandhy Laksono yang mengungkap soal dugaan kecurangan pada Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Film ini dibintangi tiga Ahli Hukum Tata Negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Ketiganya memaparkan sejumlah data dan mengurai pelanggaran hukum pada Pemilu 2024 saat ini. Mereka juga menjelaskan potensi-potensi kecurangan berdasarkan kacamata hukum di Indonesia.
Terdapat sejumlah poin yang dipaparkan dalam film Dirty Vote. Di antaranya ihwal kecurangan melalui penunjukan 20 penjabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, tekanan untuk kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, serta kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Maruli pun merespons film dokumenter Dirty Vote. Dia menyebutkan film itu tak berdasarkan bukti dan memiliki tujuan tertentu. Maruli sampaikan itu saat berada di Makodam I/BB, Jalan Gatot Subroto, Kota Medan, pada Selasa, 13 Februari 2024.
"Kebetulan saya tidak nonton itu, tapi saya dengar ceritanya. Kalau orang bilang menduga, nggak punya bukti, ya kita itu semua bisa menduga-duga," kata Maruli dikutip Antara.
Andika Dwi berkontribusi dalam tulisan ini