TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Eddy Soeparno mendukung usulan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau UU Ormas. Isu ini mencuat setelah aksi premanisme ormas yang disebut mengganggu pembangunan pabrik kendaraan listrik Cina BYD di Subang, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya juga menyambut baik usulan Mendagri yang tengah mengevaluasi perlunya revisi UU Ormas, meski saya merasa ketegasan aparat penegak hukum memberantas aksi premanisme sudah cukup ampuh tanpa perlu mengubah legislasinya,” tutur Eddy dalam keterangan tertulis pada Senin, 28 April 2025.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyebut sektor investasi sebagai pendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai target 8 persen. Jika iklim investasi terganggu, kata dia, target pertumbuhan ekonomi 8 persen akan terganggu pula.
“Dengan kata lain, jika ada pihak-pihak yang mengganggu iklim investasi di Indonesia, itu sama saja dengan mengganggu target pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen,” ujar Eddy.
Eddy berujar, aksi premanisme berkedok ormas yang mengganggu pelaku usaha dan industri akhir-akhir ini perlu ditertibkan segera. Menurut dia, syarat utama investor mau menanamkan modalnya adalah keamanan dan kepastian hukum.
"Jika investor yakin bahwa keduanya dijamin negara, mereka tidak akan ragu untuk berusaha di Indonesia,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian membuka peluang merevisi UU Ormas. Menurut Tito, revisi ini penting agar pengawasan terhadap ormas semakin ketat dan akuntabel.
"Kami lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat, di antaranya, mungkin masalah keuangan, audit keuangan," kata Tito saat ditemui awak media di Jakarta, pada Jumat, 25 April 2025 seperti dikutip Antara.
Dia menyebut salah satu aspek penting yang perlu dievaluasi adalah mekanisme pengawasan, terutama dalam hal transparansi keuangan. Tito menilai, ketidakjelasan alur dan penggunaan dana ormas bisa menjadi celah untuk penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput.
Ormas, kata Titi, sejatinya adalah bagian dari sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Meski begitu, dia mengingatkan bahwa kebebasan tersebut tidak boleh digunakan untuk mengintimidasi, memeras, apalagi berbuat tindakan kekerasan.
“Kalau seandainya itu adalah kegiatan yang sistematis dan ada perintah dari ormasnya, maka secara organisasi bisa dikenakan pidana. Korporasinya,” ujar mantan Kapolri itu.
Tito mengatakan, UU Ormas yang dirancang pascareformasi pada 1998 memang mengedepankan kebebasan sipil. Namun, dalam perkembangannya, sejumlah organisasi justru menyalahgunakan status ormas untuk menjalankan agenda kekuasaan dengan cara-cara koersif.
“Dalam perjalanan, setiap undang-undang itu dinamis. Bisa saja dilakukan perubahan-perubahan sesuai situasi,” ujar dia.