TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) mengungkapkan peristiwa tragis yang menimpa Abral Wandikbo, 27 tahun, yang diduga dibunuh oleh aparat TNI. Kejadian ini berlangsung pada 24 Maret 2025, setelah aparat TNI mengklaim bahwa mereka akan menyerahkan Abral kepada keluarganya setelah ia melarikan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut laporan dari YKKMP, pada malam hari sekitar pukul 10.00 WIT, Abral Wandikbo dibawa keluar dari pos TNI dan dibunuh di pinggir kali Mrame, di daerah kebun. Setelah dibunuh, jasad Abral dibuang begitu saja di kebun dengan kondisi mengenaskan.
“Masyarakat mengira cahaya senter tersebut adalah anggota TNI yang sedang menuju kampung Kuwit untuk melakukan operasi senyap. Ternyata Aparat TNI membunuh Abral wandikbo,” ucap Direktur YKKMP Theo Hesegem dalam keterangan resminya, Selasa, 22 April 2025.
Keesokan harinya, kata Theo, pada 25 Maret 2025, aparat TNI melaksanakan operasi di Kampung Kwit dan mengklaim bahwa Abral melarikan diri. Padahal, menurut Theo, TNI telah membunuhnya pada malam sebelumnya. “Tadi kami sama Abral Wandikbo ke Kampung Kwit, namun di pertengahan jalan ia melarikan diri. Jadi jika ia telah sampai kepada keluarga tolong lapor kepada kami (TNI),” kata aparat TNI dalam laporan YKKMP yang diterima Tempo, Selasa, 22 April 2025.
Pada 26 Maret, jasad Abral ditemukan oleh keluarga dengan kondisi tubuh yang sangat mengenaskan: tangan terikat di belakang menggunakan tali segel plastik, telinga dan hidung dipotong, serta gelang bermotif bendera Bintang Kejora di tangan kanannya.
Setelah satu hari, pada 27 Maret 2025, orang tua Abral Wandikbo meninggal akibat serangan jantung. Hal itu, kata Theo, karena anaknya yang meninggal dengan cara yang sangat mengejutkan dan tidak manusiawi. Abral Wandikbo dan ayahnya dikebumikan bersebelahan.
Kematian Abral, kata Theo, menambah daftar panjang kekerasan yang terjadi di wilayah Papua pasca penyerahan Captain Philip Marthens, pilot Susi Air yang disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). YKKMP menilai bahwa penyerahan tersebut tidak disertai kesepakatan formal antara pihak pemerintah dan TPNPB, sehingga berdampak buruk bagi warga setempat yang kini hidup dalam ketakutan dan trauma.
"Penyerahan pilot Susi Air seharusnya menjadi momen perdamaian, namun yang terjadi malah penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan terhadap warga Papua," kata Theo Hesegem.
Tempo mencoba mengkonfirmasi kepada Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia terkait tudingan tersebut. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada respon dari TNI.