TEMPO.CO, Jakarta - Eks Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Yudi Purnomo Harahap menanggapi soal pengangkatan pegawai lembaga antirasuah sebagai aparatur sipil negara atau ASN pada empat tahun lalu, 1 Juni 2021. Seiring pengalihan status kepegawaian tersebut, puluhan insan KPK didepak lantaran tidak lulus tes wawasan kebangsaan atau TWK.
“Itu peristiwa dalam sejarah panjang perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika orang-orang yang telah berjasa dalam pemberantasan korupsi justru disingkirkan,” kata Yudi Purnomo Harahap kepada Tempo lewat aplikasi perpesanan, Ahad, 1 Juni 2025. Yudi, saat itu penyidik KPK, menjadi salah satu korban TWK tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yudi berharap tidak ada lagi upaya penyingkiran pegawai KPK yang berintegritas menggunakan instrumen TWK lagi. Ia juga mengharapkan terbongkarnya dalang di balik polemik TWK untuk pegawai KPK pada 2021 yang dinilai bermasalah tersebut. Apalagi, kata dia, telah ditemukan adanya mal administrasi dan adanya pelanggaran hak asasi manusia atau HAM.
“Semoga tidak ada lagi upaya upaya penyingkiran dengan menggunakan instrumen TWK lagi. Selain itu saya berharap dalang di balik TWK dibongkar. Apalagi sudah ada temuan dari Ombudsman RI ada mal administrasi dan ada temuan dari Komnas HAM ada pelanggaran HAM,” kata Yudi.
Kejanggalan TWK untuk Pegawai KPK
Diketahui, pada Selasa, 1 Juni 2021, KPK melantik 1.271 pegawai menjadi ASN. Mereka adalah pegawai KPK yang disebut lolos TWK. Di sisi lain, terdapat 75 pegawai yang tidak lulus tes tersebut. Melalui Surat Keputusan yang ditandatangani pada 7 Mei 2021, Firli Bahuri selaku Ketua KPK saat itu meminta para pegawai tersebut dinonaktifkan.
Pengadaan TWK untuk pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN disinyalir sebagai alibi untuk menyingkirkan sejumlah pegawai yang berintegritas. Dari 75 yang tidak lolos TWK, pada akhirnya 58 di antaranya dipecat. Insan antikorupsi yang didepak itu antara lain Yudi Purnomo Harahap, penyidik senior KPK Novel Baswedan, Aulia Postiera, Lakso Anindito, hingga Praswad Nugraha.
Kecurigaan pelaksanaan TWK mengandung maksud tertentu pernah diungkapkan oleh Novel Baswedan. Menurut penyisik rasuah senior ini, aturan tersebut diduga diselundupkan pada tahap akhir pembuatan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara, yang ditandatangani oleh Firli pada 27 Januari 2021.
“Tak pernah dibahas tes atau asesmen atau tes wawasan kebangsaan,” kata Novel kepada Tempo di Jakarta, pada Rabu, 19 Mei 2021.
Adapun pelaksanaan TWK bagi pegawai KPK dilakukan setelah disahkannya UU KPK yang baru dan regulasi turunannya. Dalam beleid anyar itu, status pegawai KPK adalah ASN, bukan lagi pegawai lembaga negara. Sebab itu mereka kemudian diharuskan mengikuti tes sebagai agenda peralihan status kepegawaian tersebut.
Namun, Praswad Nugraha, salah satu dari 58 mantan pegawai KPK yang dipecat, mengaku heran para pegawai lembaga antirasuah harus mengikuti TWK. Pasalnya, berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU KPK 2019, seluruh pegawai KPK adalah ASN. Artinya, karena peralihan status, pegawai KPK tak perlu mengikuti tes. Sehingga mereka otomatis menjadi ASN.
“Tiba-tiba disisipi dalam alih status harus ada wawasan kebangsaan, tiba-tiba tes wawasan kebangsaan yang hanya mengukur menjadi alat menyingkirkan orang-orang yang nyata-nyata berkontribusi secara nyata,” katanya kepada media, pada September 2021 lalu.
TWK untuk Pegawai KPK Bermasalah dan Langgar HAM
Terkait proses peralihan status 75 pegawai KPK menjadi ASN yang disebut gagal melalui TWK, Ombudsman Ri menemukan maladministrasi dalam prosesnya. Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng memaparkan, pada tahapan pembentukan kebijakan, ditemukan penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang pada pelaksanaan rapat harmonisasi.
“Di mana pada penyimpangan prosedur, pelaksanaan rapat harmonisasi tersebut dihadiri pimpinan kementerian atau lembaga yang seharusnya dikoordinasikan dan dipimpin oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan,” katanya pada Juli 2021 lalu.
Tak hanya itu, Komnas HAM juga menyatakan pelaksanaan TWK juga melanggar HAM. Lembaga ini menemukan bahwa tes tersebut dilakukan untuk menyingkirkan pegawai KPK. Pernyataan itu Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers daring, Senin, 16 Agustus 2021. Dia menyebut pegawai yang disingkirkan dilabeli konotasi negatif.
“Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK yang pelantikannya tanggal 1 Juni 2021, diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan background tertentu khususnya mereka yang distigma atau dilabeli sebutan Taliban,” kata Choirul Anam.
Dalam kesempatan yang sama, komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan menyebut total ada 11 pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK bagi pegawai KPK tersebut. Pelanggaran HAM itu terjadi dalam sisi kebijakan, tindakan hingga ucapan yang terjadi selama proses alih status kepegawaian.
Rizal mengatakan pelanggaran pertama adalah hak atas keadilan dan kepastian hukum. Kedua, adalah hak perempuan. Komnas HAM menemukan fakta adanya tindakan merendahkan martabat dan melecehkan perempuan berupa kekerasan verbal dalam TWK.
“Hal itu merupakan bentuk kekerasan verbal terhadap hak perempuan,” kata Rizal, Senin.
Ketiga, Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran hak bebas dari diskriminasi ras dan etnis. Keempat, Komnas menemukan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selanjutnya, kelima, pelanggaran hak pekerjaan. Komnas HAM menyatakan pemberhentian pegawai KPK ini didasari atas dasar yang tidak sah.
“Keenam, Komnas HAM menemukan pelanggaran hak atas rasa aman dalam tes yang dilaksanakan oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara ini. Ketujuh, Komnas HAM menyatakan terjadi pelanggaran ha katas informasi publik. Kedelapan, terjadi pelanggaran hak atas privasi,” kata Rizal.
Kesembilan, terjadi pelanggaran hak untuk berserikat dan berkumpul. Temuan itu didapat, karena Komnas melihat bahwa pegawai yang disingkirkan kebanyakan aktif dalam Wadah Pegawai KPK. Kesepuluh, Komnas HAM menyatakan terjadi pelanggaran hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dan terakhir Komisi menemukan pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat.
“Kami menemukan indikasi mereka yang dianggap tidak lulus adalah yang kritis terhadap pimpinan dan pemerintah,” kata Rizal.
Siapa Dalang di Balik TWK KPK?
Dalam sebuah liputan kolaborasi bersama sejumlah media di bawah Indonesialeaks yang tayang pada 6 Juni 2021, Tempo melaporkan adanya dugaan keterlibatan pimpinan KPK sebagai dalang di balik TWK pegawai KPK yang janggal. Pembahasan mengenai draf peraturan komisi (perkom) alih status pegawai pertama kali digelar di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan pada 27 dan 28 Agustus 2020.
Dari KPK, perwakilan Biro Hukum, Biro SDM, Pengawas Internal dan Fungsional Dewan Pengawas hadir dalam Focus Group Discussion itu. Sejumlah narasumber dari kementerian dan lembaga ikut diundang dalam rapat tersebut. Rapat juga mengundang dua narasumber ahli, yaitu pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Oce Madril dan pakar kebijakan publik Eko Prasojo—pencetus Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Rapat itu juga membahas mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN yang diteken Presiden Jokow Widodo. Terutama mengenai Pasal 3 Ayat b yang menyebutkan bahwa salah satu syarat pegawai KPK bisa diangkat menjadi ASN adalah setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, serta pemerintah yang sah.
Pada akhir September 2020, draf pertama Perkom berhasil dirumuskan. Masih tidak ada TWK dalam rumusan tersebut. Setelah draf pertama rampung, pada September hingga awal November 2020, ada beberapa kali rapat penyusunan dan Rapim membahas perkom alih status tersebut. Beberapa pegawai ditugaskan untuk mengikuti rapat teknis alih status pegawai, terkait pangkat, golongan, ruang dan mekanisme ASN.
Rapat teknis dilakukan di Hotel Westin, pada 16-18 November 2020. Dalam rapat itu juga diundang sejumlah pejabat sebagai narasumber. Para pegawai mengatakan rapat itu membahas mekanisme alih status yang mudah dan tidak menyulitkan pegawai KPK. Mereka menyatakan tidak ada pasal mengenai TWK dalam draf dan tidak pernah ada pembahasan sama sekali.
“Konstruksi perkom yang ini dibuat adalah kami disulap bahwa seluruh pegawai menjadi ASN,” kata sumber lain yang tahu rangkaian rapat ini.
Draf yang dibuat itu kemudian dibawa ke rapat dengan pimpinan KPK. Dalam rapat dengan pimpinan yang digelar pada 5 Januari 2021, usulan mengenai dilaksanakannya tes kebangsaan muncul. Pengumuman tentang tes itu kemudian dilakukan oleh pimpinan KPK, yang juga dihadiri Firli, dalam rapat sosialisasi yang digelar secara daring pada 17 Februari 2021.
Pegawai KPK Benydictus Siumlala Martin Sumarno terkejut saat mengetahui adanya TWK sebagai syarat alih status menjadi ASN. Beny mengatakan tak cuma dirinya yang mempertanyakan adanya tes itu. Dia mengatakan respon itu wajar karena TWK tak pernah dibahas sebelumnya dalam penyusunan draf perkom yang telah digodok sejak Agustus 2020.
“Saya tanyakan soal apakah TWK akan ada lolos dan tidak lolosnya. Pimpinan menjawab tidak ada,” kata dia menceritakan ulang peristiwa itu pada 1 Juni 2021.
Sumber Indonesialeaks memastikan bahwa orang yang mengusulkan tes itu adalah Firli Bahuri. Sumber tersebut masih ingat alasan Firli ngotot memasukkan tes kebangsaan ke dalam Perkom. Firli menyebut ada banyak Taliban di tubuh KPK. Taliban merupakan tudingan para pendengung atau buzzer kepada pegawai KPK yang dianggap fanatik dalam beragama.
“Kalian lupa. Di sini dulu banyak Taliban,” kata sumber tersebut menirukan ucapan yang diduga dilontarkan oleh Firli.
Usul dari Firli itu membuat pejabat struktural kelimpungan. Pasalnya pelaksanaan tes membutuhkan anggaran yang seharusnya disiapkan dari jauh-jauh hari. Karena belum adanya penganggaran itulah, maka syarat TWK belum masuk dalam draf Perkom 18 Januari 2021. Pasal 5 Ayat 4 draf Perkom hanya menyebutkan mengenai adanya tes asesmen. Selanjutnya, dalam draf Perkom 20 Januari 2021 Ayat tersebut diubah menjadi asesmen TWK.
Ketentuan mengenai TWK baru benar-benar masuk dalam draf Perkom tanggal 25 Januari 2021 pukul 19.00 WIB. Menurut sumber ini, draf TWK mesti selesai malam itu juga karena harus dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM keesokan harinya. Sumber ini tidak mengetahui alasan kenapa draf itu mesti dikirim terburu-buru. Menurut sejumlah sumber, draf itu kemudian dikirim sendiri oleh Firli ke Kemenkumham untuk disahkan. Biasanya, rapat itu juga cukup dihadiri oleh Sekjen KPK, Biro Hukum dan Biro SDM yang mewakili KPK.
“Tetapi, khusus rapat harmonisasi terkait Perkom alih status pegawai, Ketua KPK hadir sendiri, tanpa ketiga pejabat tersebut, membawa Draf Perkom yang sudah mengatur Tes Wawasan Kebangsaan,” seperti dikutip dari laporan pegawai KPK ke Komnas HAM.
Keesokan harinya pada 27 Januari 2021 Perkom yang memuat ketentuan mengenai pelaksanaan TWK sebagai syarat alih status resmi berlaku. Soal dugaan penyelundupan pasal ini, tim Indonesialeaks melakukan sejumlah upaya untuk mengkonfirmasi, termasuk mengejar Firli seusai melakukan Rapat Dengar Pendapat di DPR Kamis, 3 Mei 2021. Firli membantah berupaya menyingkirkan sejumlah pegawai lewat TWK. “Orang lulus tidak lulus karena dia sendiri,” kata dia.
Upaya konfirmasi juga dilakukan melalui pengiriman surat ke kantornya dan melalui pesan ke akun WhatsApp-nya. Firli sempat menjawab pertanyaan ihwal penyelundupan Pasal 5 Ayat 4, namun dihapus. Dalam pesan itu, Firli Bahuri menyatakan bahwa proses pembahasan peraturan komisi dibahas oleh seluruh pimpinan KPK bersama Sekretariat Jenderal dan beberapa Deputi di lembaga antirasuah.