Jakarta -
Pemerintah Indonesia tengah mengkaji rencana penerapan batas usia minimum bagi anak untuk mengakses media sosial. Ini sebagai bagian dari upaya untuk melindungi anak dari dampak negatif dunia digital.
Langkah yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, telah disetujui Presiden Prabowo Subianto dan wacana tersebut akan dibahas bersama dengan DPR. Adapun pembatasan usia untuk mengakses media sosial merupakan respons terhadap fenomena penggunaan platform digital yang semakin meningkat di kalangan anak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebagian besar anak usia lima tahun ke atas di Indonesia telah mengakses internet untuk media sosial, dengan persentase mencapai 88,99 persen, yang merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan tujuan lain dalam penggunaan internet. Akses yang tidak terkendali ke media sosial berisiko menimbulkan dampak psikologis yang signifikan, terutama bagi perkembangan mental dan emosional anak.
Penelitian menunjukkan bahwa otak anak-anak dan remaja masih dalam tahap perkembangan, terutama di area yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, pengendalian emosi, dan empati. Akses yang terlalu dini pada media sosial dapat mengganggu proses ini.
Anak-anak di bawah usia tertentu sering kali tidak memiliki kemampuan kritis untuk memahami konten yang tidak sesuai usia, termasuk hoaks, kekerasan, atau konten seksual. Sehingga perlu adanya aturan yang jelas untuk usia anak-anak boleh bermain media sosial.
Dampak Negatif Penggunaan Media Sosial bagi Anak
Dalam buku The Anxious Generation dijelaskan dampak negatif yang ditimbulkan oleh teknologi pada perkembangan emosional dan sosial anak, seperti berikut:
Adiksi / Kecanduan
Akibat notifikasi (komentar atau likes) dari media sosial akan memengaruhi anak untuk terus menggunakan platform tersebut. Algoritma dalam platform media sosial juga dirancang menggunakan teknik perilaku untuk menciptakan kecanduan.
Misalnya, video dengan durasi singkat dirancang untuk memberikan rangsangan visual dan emosional yang cepat, sehingga membuat anak terus bermain media sosial tanpa henti. Pola ini memperkuat pelepasan dopamin secara berulang, menciptakan siklus adiksi yang sulit dihentikan.
Akibatnya, anak-anak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan sulit mempertahankan perhatian pada aktivitas yang memerlukan konsentrasi jangka panjang, seperti belajar atau membaca.
Penurunan kuantitas dan kualitas tidur
Menggunakan media sosial hingga larut malam dapat menyebabkan gangguan pola tidur alami. Paparan cahaya biru (blue light) dari layar juga menghambat produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur.
Isolasi sosial
Anak akan mengalami isolasi sosial yang disebabkan oleh penggunaan media sosial dapat membatasi kemampuan anak untuk mempelajari keterampilan sosial secara langsung, seperti empati dan komunikasi interpersonal. Anak juga berisiko mengembangkan perilaku yang tidak sesuai, karena cenderung meniru contoh negatif dari media sosial.
Perundungan siber atau Cyberbullying
Cyberbullying merupakan bentuk kekerasan atau perundungan yang terjadi melalui platform digital, termasuk media sosial. Anak-anak yang menghabiskan banyak waktu di media sosial lebih rentan menjadi korban atau pelaku perundungan siber. Dampaknya dapat merusak kesehatan mental anak, dengan akibat jangka panjang seperti gangguan kecemasan, depresi, atau trauma psikologis.
Gangguan mental pada remaja perempuan
Media sosial memiliki dampak berbeda terhadap remaja berdasarkan gender. Remaja perempuan lebih rentan mengalami gangguan mental seperti depresi dan kecemasan, yang sering kali dipicu oleh perbandingan sosial terkait penampilan.
Beberapa platform media sosial mempertegas standar kecantikan yang tidak realistis melalui penggunaan filter, sehingga meningkatkan tekanan terhadap remaja perempuan untuk tampil sempurna. Di samping itu, mereka kerap menjadi korban pelecehan yang mendorong mereka untuk berbagi foto pribadi.
Sementara itu, remaja laki-laki cenderung menghadapi risiko terhadap paparan konten pornografi di media sosial. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk mendampingi anak dalam menggunakan media sosial agar meminimalisir maupun terhindar dari dampak negatifnya.
Meskipun membawa dampak negatif, media sosial juga memberikan manfaat, terutama dalam membangun komunitas positif. Beberapa remaja menggunakan media sosial untuk menemukan dukungan emosional, memperluas jaringan pertemanan, dan mengekspresikan diri. Hal ini membantu kelompok yang sering terpinggirkan, seperti minoritas rasial, etnis, atau gender untuk berinteraksi dengan lebih leluasa.
- Meningkatkan keterampilan sosial dan komunikasi: Media sosial memungkinkan anak-anak untuk tetap terhubung dengan teman-teman mereka, terutama jika mereka tinggal jauh. Hal ini juga memberi mereka ruang untuk mengekspresikan diri dan belajar memahami sudut pandang orang lain. Selain itu media sosial dapat memperkuat dukungan emosional, ketika anak menemukan komunitas yang mendukung mereka, terutama jika mereka memiliki minat atau pengalaman yang jarang dimiliki teman-temannya di dunia nyata.
- Memperluas wawasan dan pengetahuan: Anak-anak dapat mengakses berbagai informasi, ide, dan budaya melalui media sosial. Mereka dapat mengikuti akun edukasi, komunitas sains, seni, atau organisasi sosial untuk memperluas pengetahuan mereka. Kemudian media sosial dapat memperkenalkan anak pada isu-isu global seperti lingkungan, kesehatan mental, dan keadilan sosial. Hal ini bisa menumbuhkan empati dan keinginan untuk berkontribusi positif.
- Mendukung Kreativitas dan Ekspresi Diri: Platform media sosial memungkinkan anak untuk mengeksplorasi minat mereka, seperti menggambar, menyanyi, atau membuat video kreatif. Ini dapat membantu mereka menemukan minat dan bakat unik.
- Memfasilitasi Pembelajaran Kolaboratif : Anak-anak dapat bergabung dalam grup diskusi atau komunitas belajar online. Mereka bisa berbagi ide dan memecahkan masalah bersama dengan teman-teman di seluruh dunia.
Peran orang tua dalam penggunaan media sosial
Orang tua dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatif teknologi digital pada anak-anak mereka:
- Memberikan Edukasi Digital: menurut jurnal Parental Mediation of Children's Internet Use, Orang tua perlu mengajarkan anak-anak tentang literasi digital, termasuk cara mengenali informasi yang kredibel dan menghindari bahaya seperti cyberbullying. Misalnya mengajari anak untuk mengenali tanda-tanda perundungan siber dan cara melaporkannya.
- Menerapkan Kontrol & Pengawasan: Sebaiknya menunda penggunaan media sosial hingga anak berusia 16 tahun. Koordinasikan dengan orang tua lain untuk menciptakan norma sosial dan aturan yang mendukung. Jika sudah cukup usia, gunakan fitur kontrol orang tua pada perangkat anak untuk membatasi akses ke situs web atau aplikasi yang tidak sesuai.
- Memperhatikan Tanda Penggunaan Problematis: Meskipun anak sudah cukup usia dalam penggunaan media sosial, orang tua harus waspada terhadap tanda-tanda penggunaan media sosial yang berlebihan atau adiktif, seperti perubahan perilaku, gangguan tidur, atau penurunan prestasi akademik.
- Menciptakan Zona Bebas Gadget: Tentukan waktu dan tempat tertentu di rumah sebagai zona tanpa perangkat, seperti saat makan bersama atau sebelum tidur, untuk mendorong interaksi langsung dan kualitas waktu bersama keluarga.
- Menetapkan Batasan Waktu: Studi oleh American Academy of Pediatrics (AAP, 2016) merekomendasikan bahwa anak-anak usia 6-17 tahun menggunakan screen time secara maksimal hanya 2 jam per hari. Orang tua harus menetapkan batasan waktu yang jelas dan memastikan anak memiliki waktu untuk aktivitas di dunia nyata seperti bermain di luar dan membaca buku.
Kebijakan Pemerintah dalam Penggunaan Media Sosial
Dalam buku The Anxious Generation mengungkapkan beberapa poin agar pemerintah perlu mengatur kebijakan terkait penggunaan media sosial dan teknologi digital.
Pertama, pemerintah harus menaikkan batas usia pengguna media sosial menjadi 16 tahun, dengan tujuan memberikan perlindungan bagi anak-anak dari dampak negatif media sosial dan platform digital lainnya. Kedua, pemerintah dapat bekerja sama dengan perusahaan platform digital untuk mengembangkan fitur-fitur yang membantu mitigasi potensi risiko digital. Misalnya fitur verifikasi usia, untuk memastikan bahwa pengguna yang belum cukup umur tidak dapat mengakses konten yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Ketiga, pemerintah perlu memastikan fasilitas umum yang dapat mendukung aktivitas fisik, sosial, dan kreatif bagi anak-anak dan remaja, sehingga mereka dapat menghabiskan waktu di luar rumah dengan cara yang produktif dibandingkan menggunakan gadget dan media sosial.
Simak ulasannya berikut ini:
Uni Eropa
Pemerinatah Uni Eropa menetapkan usia minimum 16 tahun untuk pengguna media sosial tanpa izin orang tua melalui General Data Protection Regulation (GDPR) yang mulai diberlakukan pada 2018. Negara anggota dapat menurunkan batas usia ini hingga 13 tahun, asalkan orang tua memberikan persetujuan.
Amerika Serikat
Children's Online Privacy Protection Act (COPPA) mengatur bahwa anak di bawah usia 13 tahun tidak diperbolehkan menggunakan platform media sosial tanpa persetujuan orang tua. COPPA mengharuskan perusahaan untuk mendapatkan izin eksplisit sebelum mengumpulkan data anak-anak dan memblokir akses jika persetujuan tidak diberikan.
Inggris
Pada 2021, Age-Appropriate Design Code yang mewajibkan platform untuk memastikan bahwa layanan mereka dirancang dengan mempertimbangkan perlindungan pengguna muda.Hal ini termasuk pembatasan usia minimum dan kontrol atas data pengguna di bawah usia 18 tahun.
Australia
Online Safety Act yang menetapkan bahwa platform media sosial harus memiliki langkah-langkah verifikasi usia untuk memastikan bahwa anak-anak di bawah usia 16 tahun tidak mengakses konten yang tidak sesuai. Pelanggaran terhadap regulasi ini dapat mengakibatkan denda yang besar.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)