TEMPO.CO, Jakarta - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, ramai dibicarakan setelah menyatakan akan meniadakan operasi tangkap tangan (OTT) apabila dirinya terpilih. Hal tersebut Tanak sampaikan saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI pada Selasa, 19 November 202.
"OTT enggak tepat. Saya sudah sampaikan dengan teman-teman (pimpinan KPK)," ujar Komisioner KPK periode 2019-2024 itu. Meski tidak tepat dilakukan, Tanak menilai mayoritas pimpinan KPK masih menyetujui agar OTT dilakukan. "Seandainya saya bisa jadi ketua, saya tutup, close, karena itu enggak sesuai KUHAP."
Pernyataan tersebut menambahkan daftar kontroversial pria yang punya latar belakang jaksa tersebut. Pada 2022, Tanak pernah mengusulkan penggunaan restorative justice dalam kasus tindak pidana korupsi. Usulan ini disampaikan Johanis saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan yang digelar oleh Komisi Hukum DPR RI.
Dalam kesempatan itu, Tanak membeberkan visi-misinya dalam memberantas korupsi. Lewat makalah yang dia buat, dia menyatakan pemikirannya untuk memberlakukan keadilan restoratif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Karena menurut pemikiran saya, RJ (restorative justice) tidak hanya dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana umum, termasuk juga dalam perkara tindak pidana khusus, itu dalam hal ini korupsi," kata Johanis sebagaimana dikutip dari Antaranews.
Menurut dia, keadilan restoratif bisa diberlakukan meskipun dalam Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, bila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, tidak menghapus proses tindak pidana korupsi. "Namun, hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada, bahwa peraturan yang ada sebelumnya dikesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," ujarnya.
Johanis menjelaskan, secara teori hukum, restorative justice memungkinkan diterapkan. Ketika pelaku mengembalikan tiga kali lipat dari uang yang dikorupsinya kepada negara, maka bisa mendapat jaminan tak diproses secara hukum. Sebab, jika pelaku korupsi tetap diproses, bisa menambah kerugian keuangan negara.
EGY ADYATAMA | NOVALI PANJI NUGROHO | ANTARA