Indonesia Kembali di Panggung Dunia: Dari Luka Kolonial ke Lumbung Pangan Global

1 week ago 15

loading...

Yusuf Sugiyarto, Ketua Bidang Penelitian dan Kebijakan Strategis PB HMI 2024-2026. Foto/SindoNews

Yusuf Sugiyarto
Ketua Bidang Penelitian dan Kebijakan Strategis PB HMI 2024-2026

PIDATO Prabowo Subianto di forum internasional beberapa waktu lalu menimbulkan gema yang tidak biasa. Di antara bahasa diplomasi yang lazimnya kering, ia muncul dengan pernyataan tegas: Indonesia is prepared to deploy 20.000 and including providing rice to Gaza (Palestine). Kurang lebih begitu kalimat yang seketika membuat panggung politik global berguncang.

Namun gema itu tidak datang dari ruang hampa. Ia lahir dari sejarah panjang bangsa ini—sebuah bangsa yang pernah dijajah berabad-abad oleh kolonial, merasakan sendiri bagaimana lapar dan penderitaan bisa menjadi senjata penaklukan. Ingatan kolektif tentang masa-masa ditindas itulah yang membentuk nurani politik luar negeri Indonesia: berdiri bersama mereka yang tertindas, menolak ketidakadilan, dan memastikan bahwa kedaulatan bukan sekadar kata indah di atas kertas, melainkan hak untuk hidup bermartabat.

Karena itu, ketika Prabowo bicara tentang pasukan kemanusiaan dan bantuan pangan, ia sesungguhnya sedang menarik garis lurus dari masa lalu bangsa ini menuju solidaritas global hari ini. Dari pengalaman sebagai bangsa terjajah, Indonesia belajar satu hal mendasar: penderitaan tidak boleh dibiarkan menjadi warisan abadi!

Indonesia tidak lahir dari ruang kosong. Ia ditempa oleh sejarah panjang penjajahan, lebih dari tiga setengah abad berada di bawah cengkeraman kolonialisme. Dalam kurun itu, rakyat tidak hanya diperas tenaganya, tetapi juga dipaksa merasakan lapar sebagai alat kekuasaan. Sistem cultuurstelsel oleh van den Bosch pada tahun 1830 di Indonesia dilatarbelakangi oleh kesulitan keuangan akibat perang di abad ke-19, misalnya, membuat sawah-sawah yang mestinya menghidupi rakyat justru dipaksa menanam tebu, kopi, atau nila demi perut orangorang Eropa. Akibatnya, kelaparan melanda di banyak daerah, salah satunya yang paling tragis adalah paceklik besar di Jawa Tengah (1840-an), ketika ribuan orang mati hanya karena tidak ada cukup beras untuk dimakan.

Dari pengalaman itu, lahirlah kesadaran mendalam: pangan bukan sekadar soal ekonomi, melainkan soal kedaulatan dan martabat. Itulah mengapa Bung Karno di awal kemerdekaan menekankan bahwa revolusi tidak ada artinya jika rakyat masih berebut nasi. “Berdikari” bukan hanya slogan politik, melainkan janji sejarah: jangan sampai bangsa ini kembali diperbudak melalui perutnya.

Kesadaran historis ini pula yang menempel dalam sikap luar negeri Indonesia. Maka ketika Prabowo berdiri di forum internasional dan menyatakan siap mengirim 20 ribu pasukan
kemanusiaan sekaligus bantuan pangan ke Gaza, pernyataan itu tidak bisa dibaca hanya sebagai retorika sesaat. Ia adalah gema dari ingatan panjang sebuah bangsa yang pernah merasakan sendiri pahitnya ditindas, dan kini memilih berpihak pada mereka yang mengalami nasib serupa.

Indonesia, dengan luka kolonial yang belum sepenuhnya sembuh, menjadikan solidaritas bukan pilihan tambahan, melainkan kewajiban moral. Itulah fondasi mengapa isu Gaza menyentuh hati rakyat Indonesia sedemikian rupa: karena penderitaan mereka mengingatkan pada sejarah kita sendiri.

Konflik Geopolitik dan Nurani Prabowo!

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online