Indonesia Perjuangkan Aturan Pasar Karbon yang Adil dan Inklusif di COP30 Belem

1 week ago 5

loading...

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati dalam pembahasan Pasal 6.4 Perjanjian Paris pada Sidang CMA7 COP30 di Belém, Brasil, Selasa (11/11/2025). Foto/Dok. SindoNews

BELEM - Delegasi Indonesia melalui Kementerian Kehutanan menegaskan komitmennya memperjuangkan mekanisme pasar karbon global yang adil, inklusif, dan berbasis ilmu pengetahuan (science-based). Hal ini itu ditegaskan dalam pembahasan Pasal 6.4 Perjanjian Paris pada Sidang CMA7 COP30 di Belém, Brasil.

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati mengatakan, Indonesia menyerukan agar mekanisme Artikel 6.4 memastikan integritas lingkungan berjalan adil. Yakni tanpa mengorbankan partisipasi negara berkembang, khususnya bagi sektor berbasis alam (nature-based) seperti kehutanan dan penggunaan lahan, termasuk ekosistem gambut dan mangrove. Baca juga: Indonesia Perkuat Integritas dan Kolaborasi Global Pengembangan Pasar Karbon

“Kami mendukung integritas lingkungan, tetapi aturan yang terlalu kaku—seperti penyesuaian otomatis baseline atau standar kebocoran global—berpotensi menegasikan inisiatif berbasis alam yang justru menjadi tulang punggung mitigasi perubahan iklim ,” katanya, Selasa (11/11/2025).

Haruni menjelaskan tujuan Indonesia adalah memastikan integritas tinggi berjalan seiring dengan keadilan dan keterjangkauan, sehingga semua negara dapat berkontribusi secara efektif.

Pokok-Pokok Intervensi Indonesia dalam sidang Agenda Item 15(b): Laporan Badan Pengawas (Supervisory Body) untuk Mekanisme Pasal 6.4, Indonesia mengajukan sejumlah masukan penting, yang juga mendapat dukungan dari Kosta Rika, Brasil, Norwegia, dan Inggris, antara lain:2 Revisi terhadap Standar Baseline dan Penyesuaian Otomatis (Downward Adjustment).

Indonesia menilai penurunan baseline tahunan otomatis sebesar 1% dapat membuat proyek REDD+, restorasi, dan karbon biru bisa berpotensi menjadi tidak layak. Indonesia meminta pendekatan yang berbasis sains dan realistis untuk penilaian kebocoran, khususnya bagi aktivitas berbasis alam yang memerlukan metodologi global yang mapan.

Indonesia menegaskan agar aturan pasca-krediting dan alat penilaian risiko (Risk Tools) tidak menegasikan kegiatan berbasis lahan, termasuk kehutanan dan mangrove. Indonesia mendorong agar proses konsultasi diperpanjang dan melibatkan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLCs) secara bermakna, serta meminta agar rapat Methodological Expert Panel (MEP) disampaikan secara terbuka demi transparansi.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online