loading...
Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional Univeritas Jember. Foto/Istimewa
Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional Univeritas Jember
PAKTA pertahanan antara Arab Saudi dan Pakistan yang diumumkan baru-baru ini sontak memantik diskusi tentang arah baru geopolitik kawasan. Aljazeera menyebutnya sebagai “watershed”, sebuah tonggak yang bisa menggeser konfigurasi keamanan di Asia Selatan, Teluk, bahkan meluas hingga Asia Tengah. Pertanyaan mendasarnya: apakah perjanjian ini hanya sekadar kerja sama militer pragmatis, ataukah ia menandai babak baru dalam arsitektur keamanan global yang sedang bertransformasi?
Sejarah aliansi pertahanan selalu sarat dengan ambivalensi: di satu sisi memberi rasa aman bagi anggotanya, di sisi lain menciptakan ketergantungan strategis dan menyalakan perlombaan kekuatan. Pakta Saudi–Pakistan tak bisa dibaca secara ahistoris; ia perlu ditempatkan dalam rentetan sejarah panjang aliansi dunia, baik yang sukses mengukuhkan keamanan jangka panjang maupun yang akhirnya menjerumuskan mitranya dalam pusaran konflik.
Kita ingat bagaimana Mesir di era Gamal Abdel Nasser memilih merapat ke Uni Soviet pada 1950–1960-an. Kala itu, Washington menolak memberi bantuan militer besar-besaran kepada Kairo, dan Moskow tampil sebagai penyokong utama pembangunan bendungan Aswan sekaligus pemasok senjata. Namun hubungan ini tidak berlangsung stabil. Kekalahan Mesir dalam Perang Enam Hari 1967 menggerus kredibilitas Soviet, dan Anwar Sadat kemudian memutuskan beralih ke Amerika Serikat di awal 1970-an.
Aliansi Mesir–Soviet adalah pelajaran bagaimana pakta militer bisa menjadi sekutu sementara, bukan ikatan permanen, dan lebih sering mencerminkan kalkulasi pragmatis dibandingkan solidaritas ideologis. Paralelnya jelas terlihat pada Saudi dan Pakistan. Riyadh melihat Washington tak lagi seandal dulu, terutama setelah gejolak Gaza, pembicaraan normalisasi dengan Israel yang berliku, serta kebimbangan Amerika menjaga komitmennya di Teluk.
Pakistan sendiri berada dalam tekanan ekonomi sekaligus isolasi strategis, dengan kebutuhan mendesak akan bantuan energi dan investasi. Kedua negara bertemu dalam satu simpul kepentingan: saling membutuhkan untuk menyeimbangkan tekanan dari luar. Persis seperti Mesir dan Soviet dahulu, aliansi ini lahir dari rasa ketidakpuasan terhadap mitra lama.