loading...
World Tourism Day (WTD) 2025 seri ketiga yang digelar Eco Tourism Bali (ETB). FOTO/dok.SindoNews
JAKARTA - Bali kembali menegaskan posisinya sebagai destinasi wisata kelas dunia yang tak hanya menawarkan kemewahan, tetapi juga mengedepankan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Komitmen tersebut mengemuka dalam perayaan World Tourism Day (WTD) 2025 seri ketiga yang digelar Eco Tourism Bali (ETB) dengan tema “Tourism & Climate Action”.
Lebih dari 300 pemangku kepentingan lintas sektor hadir dalam kegiatan itu, mulai dari perwakilan pemerintah, pelaku industri perhotelan, asosiasi, komunitas, hingga mitra keberlanjutan. Forum tersebut menjadi ruang kolaborasi global untuk memperkuat peran pariwisata sebagai penggerak ekonomi lokal yang adil, inklusif, serta tangguh terhadap perubahan iklim.
“Wisatawan kini menilai destinasi bukan lagi dari jumlah bintang hotelnya, tetapi dari bagaimana lingkungan dijaga, masyarakat lokal dilibatkan, dan tata kelola dilakukan dengan transparansi,” ujar Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa dalam keterangannya di Bali, Jumat (10/10).
Baca Juga: Perputaran Uang Selama MotoGP Mandalika Fantastis, Nilainya Tembus Rp4,8 Triliun
Ia menegaskan, kekayaan sejati Bali terletak pada harmoni antara alam dan budaya yang dijaga masyarakatnya. Sejalan dengan visi tersebut, Eco Tourism Bali meluncurkan dua inisiatif utama, yakni Sustainable Procurement Guideline untuk sektor HORECA (hotel, restoran, dan kafe) serta versi terbaru Eco Climate Badge 2.0 bagi industri perhotelan. Kedua program ini dirancang untuk mempercepat penerapan praktik pariwisata yang ramah iklim dan bertanggung jawab secara sosial di seluruh ekosistem pariwisata Bali.
Panduan pengadaan berkelanjutan yang dikembangkan bersama Kopernik dan Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) memberikan acuan komprehensif bagi pelaku usaha untuk membangun rantai pasok yang benar-benar hijau. Sementara Eco Climate Badge 2.0 kini mengintegrasikan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) secara lebih menyeluruh, memungkinkan bisnis pariwisata mengukur dan melaporkan dampak keberlanjutan dengan kredibilitas lebih tinggi.
Dukungan terhadap upaya tersebut datang dari ACT! Project, konsorsium yang dipimpin Rainforest Alliance dengan pendanaan Uni Eropa melalui program SWITCH-Asia. Manajer Consumer Campaign and Engagement Rainforest Alliance Indonesia, Margareth Meutia, menjelaskan bahwa kemitraan dengan ETB bertujuan mengurangi dampak negatif konsumsi pangan seperti kopi, cokelat, teh, dan minyak sawit melalui perubahan praktik di sektor pariwisata dan ritel.