loading...
Idham Arsyad, Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Ketua Umum Gerbang Tani. Foto/Ist
Idham Arsyad
Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Ketua Umum Gerbang Tani
KETIMPANGAN penguasaan lahan di Indonesia sudah mencapai ambang batas yang mengkhawatirkan. Data Sensus Pertanian 2023 BPS mengungkap realitas pahit. Dari 27,8 juta petani di Indonesia, maka sebanyak 17,25 juta atau 62 persen adalah petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektare. Kondisi ini mencerminkan struktur agraria yang timpang dan memerlukan intervensi reforma agraria yang komprehensif.
Akibatnya konflik agraria merebak di mana-mana. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 3.234 konflik dalam satu dekade terakhir, melibatkan 7,4 juta hektare lahan dan mengguncang kehidupan 1,8 juta kepala keluarga. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan krisis struktural yang mengancam kedaulatan pangan dan stabilitas sosial.
Di tengah kondisi darurat ini, momentum pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) yang direkomendasikan dalam pertemuan KPA dengan Pimpinan DPR dan pemerintah menjadi secercah harapan. Namun, kesalahan masa lalu harus menjadi pelajaran berharga dalam merancang kelembagaan yang benar-benar mampu menyelesaikan masalah.
Belajar dari Kegagalan Masa Lalu
Sejarah penanganan reforma agraria di Indonesia penuh dengan fragmentasi kelembagaan yang ujung-ujungnya kontraproduktif. Sejak era Orde Baru, Direktorat Jenderal Agraria di Kementerian Dalam Negeri (1960-1988) terpecah-belah menjadi banyak lembaga tanpa koordinasi yang jelas. Era reformasi memang melahirkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), tapi fokusnya lebih pada urusan administrasi pertanahan ketimbang redistribusi tanah yang sesungguhnya.
Contoh paling nyata adalah Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dibentuk pada 2016. Target mendistribusikan 9 juta hektare hingga 2019 belum tercapai optimal. Meski ATR/BPN mengklaim 14,5 juta hektare "reforma agraria" tercapai, sebagian besar adalah "penataan aset" (legalisasi/sertifikasi tanah).
Pusat Studi Agraria IPB (2022) mengidentifikasi tiga kelemahan GTRA.
Pertama, GTRA tidak punya taring untuk memaksa kementerian dan lembaga melaksanakan program. Posisinya hanya sebagai koordinator tanpa kewenangan eksekusi langsung. Kedua, anggaran tersebar di berbagai kementerian/lembaga sehingga sulit dikoordinasikan dan dimonitor. Ketiga, tidak ada mekanisme penyelesaian konflik yang cepat dan mengikat.
Kegagalan ini menunjukkan bahwa reforma agraria membutuhkan lebih dari sekadar koordinasi. Ia memerlukan lembaga dengan kewenangan penuh dan kepemimpinan yang kuat.