Mertua Larang Menantu Bertemu Istri dan Anak, Ini Hukumnya

2 days ago 5

Jakarta -

Setiap pasangan tentunya menginginkan rumah tangga yang harmonis. Namun, terkadang terjadi gesekan antara menantu dan mertua yang membuat pernikahan Bunda mungkin tidak baik-baik saja.

Faktor penyebab gesekan itu sering kali terjadi karena ikut campur tangan mertua tentang cucunya. Lantas, bagaimana hukum jika mertua menahan anak bertemu dengan orang tuanya, ya, Bunda?

Hal ini sempat dialami oleh seorang pria satu anak yang sengaja ingin dipisahkan dari istri dan anak oleh mertuanya. Ia pun meminta keadilan karena mediasi tidak memberikan jalan keluar untuknya.

Banner Anak Perempuan Tidak Dekat dengan Ayah

Hukum mertua larang anak bertemu orang tuanya

Melansir dari laman detikcom, pakar hukum, Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H., mengatakan terhadap perkawinan seorang Muslim, maka apabila terjadi perceraian mengacu kepada ketentuan Pasal 113 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islami (KHI), yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas dasar putusan pengadilan.

Kemudian, ketentuan Pasal 114 KHI menyatakan, putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Selanjutnya, ketentuan Pasal 115 KHI menyatakan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116 KHI mengatur tentang alasan-alasan yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, meliputi:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembunyikan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Sementara itu, bagi Non Muslim, jika terjadi perceraian, mengacu pada ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974), yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan. Ketentuan Pasal 39 UU 1/1974 menyatakan bahwa:

  1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri;
  3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975), yang mengatur tentang alasan-alasan yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Menanggapi permasalahan pria tersebut, Yudhi mengatakan yang menjadi penyebab permasalahan atau mungkin perselisihan itu adalah pengaruh orang tua yang membatas-batasi hubungan dan komunikasi dengan istri dan anak, dengan tujuan agar mereka bercerai.

Perlu diketahui bahwa secara hukum orang tua tidak mempunyai hak untuk ikut campur terhadap kehidupan perkawinan anaknya. Ketentuan Pasal 116 KHI dan Pasal 19 PP9/1975 di atas, secara jelas tidak mencantumkan satu pun alasan yang mengatur tentang kehendak orang tua sebagai dasar diajukannya perceraian.

Namun, bisa jadi, perselisihan antara suami dan istri yang berlangsung terus-menerus, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 116 huruf f KHI dan Pasal 19 huruf f PP 9/1975, dapat disebabkan salah satunya karena kehasutan pihak ketiga, dalam hal ini orang tua.

Oleh karena itu, selama suami atau istri tidak mengajukan talak atau gugatan cerai ke Pengadilan Negeri, maka perkawinan tidak akan pernah putus karena perceraian.

“Jika Saudara tetap berkeinginan untuk mempertahankan perkawinan atau menolak untuk bercerai, kami hanya bisa menyarankan agar Saudara dengan penuh kesabaran, melakukan pendekatan yang lebih intensif dengan orang tua istri, seraya menunjukkan bahwa Saudara adalah suami dan seorang ayah yang bertanggung jawab serta mampu untuk menjaga dan menafkahi keluarga seutuhnya,” jelas Yudhi.

Nah, itulah hukum mertua yang menahan anak untuk bertemu orang tuanya. Semoga bermanfaat, ya, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar dan klik di SINI. Gratis!

(asa/som)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online