TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan TNI akan memproduksi obat-obatan menggunakan laboratorium farmasi militer yang sudah direvitalisasi menjadi pabrik obat pertahanan negara. TNI juga akan menyalurkan obat-obatan tersebut ke masyarakat.
Rencana ini, kata dia, mencuat dengan memperhitungkan harga obat di Indonesia yang mahal. "Sehingga nanti produksi obat yang akan kami kerjakan bisa kami sumbangkan kepada rakyat Indonesia," kata Sjafrie dalam rapat kerja di Komisi I DPR, pada Rabu, 30 April 2025.
Sjafrie berujar, TNI bakal bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk memproduksi obat-obatan itu. Selain itu, dia mengatakan akan menggandeng Koperasi Desa Merah Putih untuk menyuplai obat yang diproduksi TNI.
"Dengan adanya koperasi desa yang dibentuk, maka apotek-apoteknya kami suplai dari obat yang kami buat di pabrik terpusat," ujarnya.
Usulan TNI akan memproduksi obat ini menuai komentar dari beberapa pihak. Berikut respons dari DPR hingga pengamat militer.
DPR Wanti-wanti Pengawasan Ketat
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amelia Anggraini mengatakan rencana TNI yang ingin memproduksi obat-obatan melalui laboratorium farmasi untuk disuplai ke Koperasi Desa Merah Putih itu harus dipastikan telah matang secara implementasi dan pengawasannya.
"Yang perlu diperhatikan adalah pengawasan ketat sesuai standar yang ditentukan BPOM," katanya saat dihubungi pada Ahad, 4 Mei 2025
Legislator dari fraksi Partai NasDem ini berujar Kementerian Pertahanan juga perlu memerhatikan kesiapan infrastruktur bagi militer sebelum memproduksi obat-obatan, termasuk ketersediaan bahan bakunya.
Menurut dia, TNI telah memiliki lembaga farmasi yang selama ini digunakan untuk mendukung kebutuhan kesehatan di lingkungan internal TNI. Dia menilai, fasilitas kesehatan yang dimiliki institusi pertahanan Tanah Air itu punya kelebihan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.
Amelia sendiri mengapresiasi rencana pengembangan farmasi milik TNI tersebut. "Langkah ini sejalan dengan tujuan pemerintah, yaitu mensejahterakan masyarakat lewat kesehatan," ucapnya.
Dampak terhadap Pelaku Industri Farmasi
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyampaikan kekhawatirannya bahwa rencana tersebut bisa mengganggu keberlangsungan ekosistem industri farmasi nasional.
"Jangan sampai kehadiran lembaga militer dalam produksi dan distribusi obat malah mematikan pelaku usaha," kata dia saat dihubungi pada Ahad, 4 Mei 2025.
Menurutnya, pelaku usaha di bidang farmasi selama ini telah tunduk pada regulasi ketat dan mekanisme pasar. Karena itu, Fahmi mengimbau adanya intervensi dari negara untuk meminimalisasi kekhawatiran itu.
"Intervensi negara sebaiknya bersifat korektif dan melengkapi, bukan menggantikan fungsi aktor yang sah secara struktural," ucapnya.
Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini