TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai revisi peraturan DPR Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib atau Tatib DPR akan merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Secara yuridis normatif, menurut dia, perubahan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
"Patut dicurigai sebagai upaya untuk mengacaukan check and balances atau keseimbangan kekuasaan antarlembaga negara dalam kerangka negara hukum demokratis," ujar Isnur dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 7 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan perubahan tata tertib DPR akan berdampak pada pejabat diberbagai lembaga negara. Isnur menyebutkan instansi ini seperti lembaga kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Juga terhadap lembaga-lembaga demokrasi seperti, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)," ucap dia.
Isnur menyatakan lembaganya memberikan catatan buruk mengenai revisi tatib DPR ini. Pertama, YLBHI menganggap ketentuan perubahan revisi tata tertib itu melampaui kewenangan pengawasan DPR.
Lembaganya menilai bahwa DPR RI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi dan memberhentikan sejumlah pimpinan lembaga atau pejabat negara yang telah dipilih melalui rapat paripurna. Hal ini berdasarkan Pasal 185 juncto Pasal 190 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD tentang pengajuan dan pemberian persetujuan atau pertimbangan atas calon untuk pengisian jabatan.
"Menambah kewenangan melalui tata tertib adalah tindakan melampaui kewenangan. Lebih mendasar dari itu pengesahan Tatib DPR yang direvisi ini merupakan tindakan melawan hukum oleh penguasa atau on rechtmatige over heids daad karena diyakini bertentangan dengan Undang-Undang MD3," ujar Isnur.
Kedua, YLBHI menilai jika revisi tata tertib DPR akan menghancurkan pondasi sistem ketatanegaraan. Isnur mengatakan jika revisi regulasi tata tertib tersebut mencampurkan cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
"Indonesia menganut prinsip demokrasi yang memisahkan antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiganya tidak saling mencampuri namun saling mengawasi untuk menciptakan check and balances atau keseimbangan berdasarkan hukum," ucap dia.
Menurut Isnur, revisi tata tertib DPR kekuasaan yudikatif terancam runtuh. Dia mengatakan keruntuhan itu dengan masuknya intervensi DPR dengan mengganti hakim MK dan MA dalam menjalankan fungsi pengawasan DPR.
"Terlebih kekuasaan yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan institusi yang dijamin independensinya dan kemerdekaannya," tutur Isnur.